Sabtu, 27 Juli 2013

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qiyaamah (4)


Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Qiyaamah (Hari Kiamat)
Surah Makkiyyah; Surah ke 75: 40 ayat

Allah menceritakan tentang keadaan sekarat dan berbagai hal mengerikan yang menyertainya. Mudah-mudahan saat ini Allah memberikan keteguhan kepada kita dengan ucapan yang teguh. Allah berfirman: Kallaa idzaa balaghatit taraaqii (“sekali-sekali jangan, apabila nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan.”) jika kita menempatkan kata “kallaa” sebagai penolakan, maka hal itu berarti “di sana, wahai anak Adam, engkau tidak akan bisa mendustakan apa yang engkau tidak bisa mendustakan apa yang engkau beritahukan, bahkan semua itu akan tampak dengan jelas di depan matamu.” Dan jika kata itu kita artikan yang sebenarnya, maka maksudnya tampak jelas, yaitu sungguh jika nafas sudah sampai di tenggorokan. Dengan kata lain, jika nyawamu telah terlepas dari ragamu dan sudah sampai di tenggorokanmu. Kata at-taraaqiy merupakan jamak dari kata tarquwwaH, yaitu tulang yang terdapat antara lubang urat-urat sembelihan dan pundak.
Wa qiila man raaq (“Dan dikatakan, ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan ?”) Ikrimah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas, yaitu siapakah yang meruqyah. Demikian pula yang disampaikan oleh Abu Qilabah, “Yakni [siapakah] dari kalangan dokter-dokter yang dapat menyembuhkan. Dan dari Ibnu Abbas: “Siapakah yang merukyah ruhnya, malaikat pemberi rahmat atau malaikat pemberi adzab?” berdasarkan hal tersebut, ini termasuk ungkapan malaikat. Dan juga dari ibnu ‘Abbas, mengenai firman-Nya: waltaffatis saaqu bis saaq (“dan bertaut betis dengan betis.”) yakni perkara besar dengan perkara bersar.
waltaffatis saaqu bis saaq (“dan bertaut betis dengan betis.”) al-Hasan al-Bashri mengatakan: “Keduanya adalah kedua betismu saat bertautan.” Dan dalam sebuah riwayat darinya, kedua kaki itu mati sehingga tidak bisa membawa dirinya, dimana biasanya ia melakukan perjalanan dengan menggunakan keduanya. demikian pula yang dikatakan oleh oleh as-Suddi dari Abu Malik. Dan dalam sebuah riwayat dari al-Hasan, yaitu balutan keduanya di dalam kafan.
Firman Allah: ilaa rabbika yauma-idzinil masaaq (“Kepada Rabb-mulah pada hari itu kamu dihalau.”) yakni tempat kembali. Allah berfirman: “Kemudian mereka [hamba Allah] dikembalikan kepada Allah, Pengunasa mereka sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum [pada hari itu] adalah kepunyaan-Nya. Dan Dia-lah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (al-An’am: 62)
Firman Allah: falaa shaddaqa wa laa shallaa. Wa laakin kadzdzaba wa tawallaa (“dan ia tidak mau membenarkan [Rasul dan al-Qur’an] dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan [Rasul] dan berpaling.”) ini adalah pemberitahuan tentang orang kafir, dimana ketika di dunia dia mendustakan kebenaran dengan hatinya, dan enggan untuk beramal dengan anggota tubuhnya, sehingga tidak ada kebaikan di dalam hatinya, baik lahir maupun batin. Oleh karena itu, Allah berfirman: falaa shaddaqa wa laa shallaa. Wa laakin kadzdzaba wa tawallaa. Tsumma dzaHaba ilaa aHliHii yatamaththaa (“dan ia tidak mau membenarkan [Rasul dan al-Qur’an] dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan [Rasul] dan berpaling. Kemudian dia pergi kepada ahlinya dengan berlagak.”) yaitu gembira, angkuh, sombong dan malas, tidak mempunyai gairah dan tidak juga mau beramal, sebagaimana yang difirmankan Allah: wa idzang qalabuu ilaa aHlimung qalabuu fakiHiin (“Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.” (al-Muthaffifiin: 31)
Ad-Dlahhak menceritakan dari Ibnu Abbas: tsumma dzaHaba ilaa aHliHii yatamaththaa (“Kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak.”) yakni menyombongkan diri.
Qatadah dan Zaid bin Aslam mengatakan, Allah berfirman: aulaa laka fa aulaa. Tsumma aulaa laka fa aulaa (“Kecelakaanlah bagimu [hai orang kafir] dan kecelakaanlah bagimu. Kemudian kecelakaanlah bagimu [hai orang kafir] dan kecelakaanlah bagimu.”) ini merupakan intimidasi sekaligus ancaman keras dari Allah kepada orang kafir yang sombong dalam langkahnya. Dengan kata lain, silakan engkau berjalan seperti ini, karena engkau memang telah kafir kepada al-Khaliq, Rabb Penciptamu. Sebagaimana kondisi seperti ini juga bisa diucapkan dengan nada mengintimidasi, dan mengancam, seperti misalnya firman Allah: “Rasakanlah, sesungguhnya engkau orang yang perkasa lagi mulia.” (ad-Dukhaan: 49)
Firman Allah: ayahsabul insaanu ay yutraka sudaa (“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?”) as-Suddi mengatakan: “Yakni tidak dibangkitkan.” Mujahid, asy-Syafi’i, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Yakni tidak diperintah dan tidak juga dilarang.” Secara lahiriyah ayat tersebut mencakup kedua keadaan tersebut. Dan yang dimaksudkan disini adalah penetapan adanya kebangkitan dan penolakan terhadap orang-orang yang mengingkarinya dari kalangan orang-orang yang melakukan penyimpangan, orang-orang bodoh lagi membangkang. Oleh karena itu, Allah berfirman seraya berdalil tentang pembangkitan makhluk dengan penciptaan pertama. dimana Dia berfirman: alam yaku nuth-fatam mim miniyyiy yumnaa (“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan.”) maksudnya bukankah manusia itu hanya berasal dari air mani yang lemah dan hina yang dituang, dan ditumpahkan dari tulang rusuk ke dalam rahim. Tsumma kaana ‘alaqatan fakhalaqa fasawwaa (“Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya.”) yakni menjadi segumpal darah, kemudian segumpal daging, dan selanjutnya dibentuk dan ditiupkan ruh ke dalamnya sehingga akhirnya menjadi makhluk lain yang sempurna dengan anggota tubuh yang normal, laki-laki maupun perempuan, dengan izin Allah dan ketetapan-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman: faja-‘ala minHuz zaujainidz dzakara wal untsaa (“Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan.”) kemudian Allah berfirman: alaisa dzaalika biqaadirin ‘alaa ay yuhyihal mautaa (“Bukankah yang berbuat demikian berkuasa [pula] menghidupkan orang yang mati?”) maksudnya, bukankah Allah yang telah menciptakan makhluk yang sempurna dari air yang lemah ini mampu untuk mengembalikannya?”
Selesai.

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qiyaamah (3)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Qiyaamah (Hari Kiamat)
Surah Makkiyyah; Surah ke 75: 40 ayat

Firman Allah: kallaa bal tuhibbuunal ‘aajilaH. Wa tadzaruunal aakhiraH (“Sekali-sekali janganlah demikian. Sebenarnya kamu mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan kehidupan akhirat.”) maksudnya yang menyebabkan mereka mendustakan hari kiamat dan penolakan mereka terhadap wahyu yang haq dan al-Qur’an al-‘Adhim yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, karena sesungguhnya yang menjadi keinginan mereka adalah kehidupan dunia, sedang mereka lengah dan lalai terhadap kehidupan akhirat.
Lebih lanjut, Allan berfirman: wujuHuy yauma-idzin naa-‘imaH (“Wajah-wajah [orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri.”) berasal dari kata an-nadharaH yang berarti rupawan, menawan, cemerlang lagi penuh kebahagiaan.
Ilaa rabbiHaa naadhiraH (“Kepada Rabbnyalah mereka melihat.”) yakni melihat dengan kasatmata. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam shahihnya: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan kasatmata.”
Dan telah ditegaskan mengenai penglihatan orang-orang mukmin terhadap Allah di akhirat kelak dalam beberapa hadits shahih melalui beberapa jalan mutawatir yang ada pada para imam hadits, yang tidak mungkin ditolak dan ditentang. Hal itu didasarkan pada hadits Abu Sa’id dan Abu Hurairah, yang keduanya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain bahwasannya ada bebarapa orang yang bertanya: “Wahai Rasulallah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat kelak?” Beliau menjawab: “Apakah kalian merasa sakit saat melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?? Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau pun bersabda: “Sesungguhnya seperti itulah kalian akan melihat Rabb kalian.”
Dan di dalma kitab ash-Shahihain disebutkan dari jarir, dia berkata: Rasulullah saw. pernah melihat bulan pada bulan purnama, beliau bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulana ini. Jika kalian mampu tidak dikalahkan [oleh perasaan lelah/mengantuk] dari mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan tidak juga sebelum ternggelamnya, maka kerjakanlah.”
Masih di dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Musa dia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Ada dua surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari emas, dan ada juga dua surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari perak. Tidaklah terdapat tirai antara dua kaum dengan penglihatan mereka kepada Allah, melainkan terdapat selendang kebesaran pada wajah-Nya di Surga ‘Adn.”
Di dalam riwayat Muslim dari Shuhaib, dari Nabi beliau bersabda: “Jika penghuni surga memasuki surga -beliau bersabda- Allah ta’ala berfirman: ‘Apakah kalian mau Aku beri tambahan sesuatu?’ Merekapun menjawab: ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah kami berwarna putih. Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga, dan menyelamatkan kami nari neraka.’
Beliau berkata: “Maka Allah pun mengyingkap hijab, mereka tidak diberi sesuatu yang lebih mereka sukai daripada melihat Rabb mereka [secara langsung]. Dan itulah tambahannya.”
Kemudian beliau membaca ayat berikut ini: alladziina ahsanuul husna wa ziyaadaH (“bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik [surga] dan tambahannya.” (Yunus: 26)
Juga masih dalam riwayat Muslim dari Jabir di dalam haditsnya: “ Sesungguhnya Allah akan memperlihatkan diri kepada orang-orang mukmin dalam keadaan tertawa.” Yakni di persidangan pada hari kiamat kelak.
Di dalam hadits –hadits tersebut terkandung pengertian bahwa orang-orang mukmin itu akan melihat Rabb mereka di pelataran hari Kiamat dan di taman-taman surga.”
Demikianlah, alhamdulillah, hal tersebut telah menjadi kesepakatan di antar para shahabat, tabi’in, dan kaum salaf dari umat ini, sebagaimana juga telah disepakati oleh para imam kaum muslimin.
Firman Allah: wujuuHuy yauma-idzim baasiraH. Tadhunnu ay yuf’ala biHaa faaqiraH (“Dan wajah-wajah [orang kafir] pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.”) itulah wajah orang-orang jahat, dimana pada hari kiamat wajah-wajah tersebut menjadi muram. Qatadah berkata: “Cemberut.” Ibnu Zaid mengatakan tentang firman Allah: baasiraH; yakni masam. Tadhunnu; yang berarti yakin. Ay yuf’ala biHaa faaqiraH (“Bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.” Mujahid mengatakan: “Yakni malapetaka.” Sedangkan Qatadah mengatakan: “Yaitu keburukan.”
“26. sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, 27. dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, 28. dan Dia yakin bahwa Sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia), 29. dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan) 30. kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. 31. dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, 32. tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), 33. kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). 34. kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, 35. kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu. 36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban) 37. Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), 38. kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, 39. lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan. 40. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (al-Qiyamah: 26-40)
(bersambung ke bagian 4)

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qiyaamah (2)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Qiyaamah (Hari Kiamat)
Surah Makkiyyah; Surah ke 75: 40 ayat

Firman Allah: wa khasafal qamaru (“dan apabila bulan telah hilang cahayanya.”) yakni tidak lagi bercahaya. Wa jumi-‘asy syamsu wal qamaru (“sedang matahari dan bulan dikumpulkan.”) Mujahid mengatakan: “Yakni menjadi satu bulan.” Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Zaid membaca ayat-ayat berikut ini: idzasy-syamsu kuwwirat. Wa idzan nujuumung kadarat (“apabila matahari digulung. dan apabila bintang-bintang berjatuhan.”)(at-Takwir: 1-2)
Firman Allah Ta’ala: yaquulul insaanu yauma-idzin ainal mafarr (“pada hari itu manusia berkata: ‘Kemana tempat lari?’”) jika anak cucu Adam telah menyaksikan peristiwa mengerikan itu pada hari kiamat kelak, maka mereka hendak melarikan diri dan berkata: “Kemana tempat berlari?” yakni adakah tempat berlindung?
Allah berfirman: kallaa laa wazara. Ilaa rabbika yauma-idzinil mustaqarru (“Sekali-sekali tidak. Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Rabb-mu sajalah pada hari itu tempat kembali.”) Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair dan lain-lain dari ulama salaf mengatakan: “Yakni tidak ada keselamatan.” Dan ayat tersebut sama dengan firman Allah yang artinya: “Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak pula dapat mengingkari. Demikian pula disini Allah berfirman, laa wazara (“tidak dapat berlindung.”) yakni kalian tidak akan mendapatkan tempat untuk berlindung padanya. Oleh karen itu, Dia berfirman: ilaa rabbika yauma-idzinil mustaqarru (“Hanya kepada Rabb-mu sajalah pada hari itu tempat kembali.”) yakni tempat kembali.
Kemudian Dia berfirman: yunabba-ul insaanu yauma-idzin bimaa qaddama wa akhkhara (“pada hari itu diberitahukan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.”) maksudnya Allah memberitahukan seluruh amal perbuatannya, baik yang lama maupun yang baru, yang pertama maupun yang terakhir, kecil maupun besar, demikian setersunya.
Firman Allah: balil insaanu ‘alaa nafsiHii bashiiratun. Wa lau alqaa ma-‘aadziiraHu (“bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”) maksudnya dia menjadi saksi bagi dirinya sendiri, dia mengetahui apa yang dia kerjakan meskipun dia telah memberikan alasan dan juga penolakan, sebagaimana Dia berfirman: iqra’ kitaabaka kafaa binafsikal yauma ‘alaika hasiiban (“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu.”)(al-Israa’: 14). ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas tentang ayat, balil insaanu ‘alaa nafsiHii bashiiratun (“bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.”) dia mengatakan: “Yakni pendengaran, pandangan, kedua tangan, kedua kaki, dan seluruh anggota tubuhnya.”
“16. janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. 19. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. 20. sekali-kali janganlah demikian. sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia,
21. dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. 22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23. kepada Tuhannyalah mereka melihat. 24. dan Wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram, 25. mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang Amat dahsyat.” (al-Qiyamah: 16-25)
Ini merupakan pelajaran dari Alllah bai Rasulullah saw. mengenai cara menerima wahyu dari malaikat. Dimana beliau akan segera mengambilnya dan mendahului malaikat dalam membacanya. Maka Allah memerintahkannya, jika malaikat mendatanginya dengan membawa wahyu, maka hendaklah dia mendengarkannya, dan Allah menjamin untuk mengumpulkannya ke dalam hatinya serta menjadikannya mudah melaksanakannya sesuai dengan apa yang disampaikan kepadanya serta memberikan penjelasan, penafsiran, dan keterangan kepadanya.
Dengan demikian, proses pertama adalah pengumpulan wahyu di dalam dada Nabi saw. proses kedua adalah pembacaanya. Dan proses ketiga adalah penafsiran sekaligus penjelasan maknanya. Oleh karena itu Allah berfirman: laa tuharrik biHii lisaanaka lita’jalabiHi (“janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat [menguasai]nya.”) yakni menguasai al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya yang artinnya: “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu, dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmmu pengetahuan…’” (ThaaHaa: 114)
Kemudian Allah berfirman: inna ‘alainaa jam-‘aHu (“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah pengumpulannya.”) yaitu di dadamu. Wa qur-aanaHu (“dan pembacaannya”) yakni membacanya. Fa idzaa qara’naaHu (“apabila Kami telah selesai membacanya.”) yakni jika malaikat telah selesai membaca wahyu dari Allah Ta’ala. Fattabi’ qur-aanaHu (“Maka ikutilah bacaan itu.”) yakni dengarkanlah kemudian bacakan kepadanya sebagaimana dia [malaikat] telah membacakannya kepadamu. Tsumma inna ‘alainaa bayaanaHu (“Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.”) yakni setelah dia menghafal dan membacanya, maka Kami yang akan menjelaskan, menerangkan, dan mengilhamkan maknanya untukmu sesuai dengan apa yang Kami kehendaki dan syariatkan.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia bercerita, Rasulullah saw. berusaha menghilangkan rasa gemetar beliau akibat turunnya wahyu dengan menggerakkan kedua bibirnya. Dia bercerita, Ibnu ‘Abbas berkata kepadaku: “Aku menggerakkan kedua bibirku sebagaimana Rasulullah saw. menggerakkan kedua bibir beliau.” Sedang Sa’id juga pernah berkata kepadaku: “Aku menggerakkan kedua bibirku sebagaimana aku melihat Ibnu ‘Abbas menggerakkan keduanya.” lalu Allah menurunkan firman-Nya: laa tuharrik biHii lisaanaka lita’jalabiHi inna ‘alainaa jam-‘aHu Wa qur-aanaHu (“janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat [menguasai]nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah pengumpulannya di dalam dadamu dan membuatmu pandai membacanya.”) dia mengatakan: “Yaitu mengumpulkannya di dalam hatimu, kemudian kami membacakannya.” Fa idzaa qara’naaHu fattabi’ qur-aanaHu (“Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”) yaitu dengarkanlah dan perhatikanlah. Tsumma inna ‘alainaa bayaanaHu (“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”) setelah Jibril berlalu beliau membacanya sebagaimana Jibril membacakannya kepadanya. Dan telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dan jalan lain.
(bersambung ke bagian 3)

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qiyaamah (1)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Qiyaamah (Hari Kiamat)
Surah Makkiyyah; Surah ke 75: 40 ayat

bismillaaHir rahmaanir rahiim
“1. aku bersumpah demi hari kiamat, 2. dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri).3. Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? 4. bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. 5. bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus. 6. ia berkata: “Bilakah hari kiamat itu?”7. Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), 8. dan apabila bulan telah hilang cahayaNya, 9. dan matahari dan bulan dikumpulkan, 10. pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari?” 11. sekali-kali tidak! tidak ada tempat berlindung! 12. hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. 13. pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. 14. bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri 15. meskipun Dia mengemukakan alasan-alasannya.” (al-Qiyamah: 1-15)
Telah disampaikan berulang kali bahwa jika obyek yang dijadikan sasaran sumpah itu dinafikan, maka boleh digunakan kata “laa” sebelum kata sumpah ini untuk menguatkan penafian. Dan yang menjadi obyek sumpah di sini adalah penetapan hari kebangkitan dan bantahan terhadap hamba-hamba Allah yang tidak berpengetahuan yang mengaku bahwa jasad-jasad ini tidak akan dibangkitkan. Oleh karena itu Allah berfirman:
Laa uqsimu biyaumil qiyaamaH. Wa laa uqsimu bin nafsillawwaamaH (“Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali [dirinya sendiri].”) Qatadah mengatakan: “Aku bersumpah dengan keduanya secara keseluruhan.”
Adapun mengenai hari kiamat, maka sudah sangat diketahui. Sedangkan, annafsullawwaamaH; maka Qurrah bin Khalid berkata dari Hasan al-Bashri mengenai ayat ini, “Sesungguhnya orang mukmin, demi Allah, kami tidak melihatnya melainkan mencela dirinya sendiri. Yang aku maksud dengan kalimatku ini adalah sama seperti apa yang dimaksud dengan makanku, dan apa yang aku maksud dengan hadiitsu nafsii [instropeksi diri]. Dan sesungguhnya orang jahat akan berjalan tanpa mencela dirinya sendiri.”
Juwaibir mengatakan, kami pernah mendapatkan kabar dari al-Hasan bahwasannya ia pernah berkata mengenai firman Allah: wa laa uqsimu bin nafsillawwaamaH (“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesal.”) dia mengatakan: “Tidak ada seorangpun dari penghuni langit dan bumi ini melainkan akan mencela dirinya sendiri pada hari kiamat kelak.”
Ibnu Jarir mengatakan: “Yang lebih dekat dengan lahiriyah ayat bahwa jiwa mencela pemiliknya atas kebaikan dan keburukan, serta menyesali segala hal yang telah berlalu.
Firman Allah: ayahsabul insaanu allay yajma-‘a ‘idhaamaH (“Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang belulangnya?”)
Yakni pada hari kiamat kelak manusia akan mengira bahwa Kami [Allah] tidak akan mampu mengembalikan sekaligus mengumpulkan tulang-belulangnya dari tempat yang terpisah-pisah? Balaa qaadiriina ‘alaa annusawwiya banaanaH (“Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun [kembali] jari jemarinya dengan sempurna.”) Sa’id bin Jubair dan al-‘Aufi berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Kami [Allah] mampu membuatnya beralas kaki atau bertelanjang kaki.” Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Mujahid, ‘Ikrimah, al-Hasan, Qatadah adl-Dlahhak, dan Ibnu Jarir. Dan Ibnu Jarir mengarahkannya, bahwa jika Allah Ta’ala menghendaki, maka Dia akanmelakukan hal tersebut di dunia.
Lahiriyah ayat menunjukkan bahwa firman Allah Ta’ala: qaadiriina; merupakan haal [keadaan] dari firman-Nya, najma-‘a; artinya, apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mampu mengumpulkan tulang belulangnya? Sudah pasti Kami akan mengumpulkannya sekaligus mampu untuk menyusun jari jemarinya. Dengan kata lain, kekuasaan Kami mampu untuk melakukan pengumpulan terhadapnya. Dan jika menghendaki, Kami bisa membangkitkannya dengan menambahkan lebih dari apa yang ada padanya sebelumnya, lalu Kami akan menjadikan ujung jari-jemarinya sama rata. Dan itulah makna ungkapan Ibnu Qatadah dan az-Zujaj.
Firman Allah: bal yuriidul insaanu liyafjura amaamaH (“Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus-menerus.”) Sa’id mengatakan dari Ibnnu ‘Abbas: “Berjalan terus.” Sedangkan al-‘Aufi mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: bal yuriidul insaanu liyafjura amaamaH (“Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus-menerus.”) yakni angan-angan.” Manusia berkata: “Aku akan melakukan ini kemudian akan bertaubat sebelum kiamat.”
‘Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu ‘Abbas: yaitu orang kafir yang mendustakan hari perhitungan. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ibnu Zaid. Dan inilah pengertian yang lebih jelas. Oleh karena itu, setelahnya Dia berfirman: yas-alu ayyaana yaumul qiyaamaH (“Ia bertanya: ‘Bilakah hari kiamat itu?’”) maksudnya dia bertanya: kapankah hari kiamat itu tiba? Pertanyaan yang diajukan tersebut menuju ke arah menganggap mustahil kejadian hari kiamat dan mendustakan keberadaannya. Di sini Allah berfirman: fa idzaa bariqal bashar (“Maka apabila mata terbelalak.”) Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ membaca “bariq” dengan harakat kasrah pada huruf “ra”. dan apa yang difirmankan-Nya ini sama seperti firman-Nya: laa yartaddu ilaiHim tharfuHum (“Sedang mata mereka tidak berkedip”)(Ibrahim: 43). Maksudnya, tetapi mereka melihat karena terkejut, begini dan begitu. Mata mereka tidak tertuju pada sesuatu pun karena rasa takut yang sangat luar biasa. Ahli qiraat lainnya membaca “baraqa” dengan menggunakan harakat fathah pada huruf “ra”, dan kata tersebut mempunyai pengertian yang sangat dekat denngan yang pertama. dan maksudnya bahwa semua mata terbelalak pada hari kiamat kelak dengan penuh kekhusyu’an, bingung, keheranan, serta merasa hina karena rasa takut yang mencekam dan karena kedahsyatan berbagai hal yang mereka saksikan.
(bersambung ke bagian 2)

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syuura (13)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syuura (Musyawarah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 42: 53 ayat

Firman Allah: fa in a’radluu (“Jika mereka berpaling.”) yaitu orang-orang musyrik. Fa maa arsalnaaka ‘alaiHim hafiidhaa (“Maka Kami tidak mengutusmu sebagai pengawas bagi mereka.”) artinya kamu bukanlah pengawas bagi mereka.
Fa inna maa ‘alaikal balaaghu wa ‘alainal hisaab (“Karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.”)(ar-Ra’du: 40). Sedangkan di ayat ini Allah berfirman: in ‘alaika illal balaaghu (“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].”) yaitu, Kami hanya menugaskanmu untuk menyampaikan risalah Allah kepada mereka.
Kemudian Allah berfirman: wa innaa idzaa adzaqnal insaana minnaa rahmatan fariha biHaa (“Sesungguhnya, apabila Kami merasakan kepada manusia suatu rahmat dari Kami, dia bergembira ria karena rahmat itu.”) yakni jika dia diberikan nikmat dan kesenangan, dia bersuka cita. Wa in tushibHum (“Dan jika mereka ditimpa.”) yaitu, manusia. Sayyi-ata (“kesusahan”) yaitu kekeringan, bencana, kesulitan dan bahaya, fa innal insaana lakafuur (“karena sesungguhnya manusia itu sangat ingkar [kepada nikmat].”) artinya, dia mengingkari nikmat yang lalu dan tidak mengakui kecuali apa yang [ada] saat sekarang saja. maka, jika dia mendapatkan kenikmatan, dia angkuh dan sombong, dan jika mendapatkan bencana, dia berputus asa dan kecewa. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda kepada kaum wanita: “Hai kaum wanita, bersedekahlah kalian, karena aku melihat kalian adalah penghuni neraka yang paling banyak.” Lalu seorang wanita bertanya: “Mengapa ya Rasulallah?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak mengeluh dan mengingkari kebaikan suami. Seandainya salah seorang dari kalian diperlakukan baik sepanjang tahun, lalu diabaikan sehari saja, dia berkata: ‘Aku tidak melihat sedikitpun kebaikan darimu.’”
Inilah kondisi mayoritas kaum wanita, kecuali wanita-wanita yang diberikan hidayah oleh Allah dan diarahkan-Nya kepada kebaikan, dan dia berada dalam golongan orang yang beriman dan beramal shalih, itulah orang mukmin. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Jika ia mendapat kesenangan ia bersyukur, dan itu lebih baik baginya. Jika ia mendapatkan kesusahan dia bersabar dan itu lebih baik baginya. Dan hal itu tidak dimiliki oleh seseorang kecuali oleh orang mukmin.”
“49. kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, 50. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (asy-Syuura: 49-50)
Allah memberitakan bahwa Dia adalah Pencipta, Pemilik dan Pengatur langit dan bumi, serta seisinya. Apa saja yang dikehendaki-Nya, pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakinya pasti tidak terjadi. Dia memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mencegah siapa yang dikehendakinya. Tidak ada yang mampu mencegah apa yang diberikan-Nya dan tidak ada yang mampu memberikan apa yang dicegah-Nya, dan Dia menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya. yaHabu limay yasyaa-u inaatsaa (“Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki.”) yaitu, Dia dapat memberikan kepadanya rizky anak perempuan saja. al-Baghawi berkata: “Di antara mereka adalah Luth.”
Wa yaHabu limay yasyaa-udz dzukuur (“dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.”) yaitu Dia dapat memberikan kepadanya rizky anak laki-laki saja. al-Baghawi berkata: “Seperti Ibrahim al-Khalil yang tidak mempunyai anak perempuan.”
Aw yuzawwijuHum dzukraanaw wa inaatsaa (“Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan [kepada siapa yang dikehendaki-Nya.]”) artinya, dan Dia memberikan pasangan suami istri yang dikehendaki-Nya anak laki-laki dan anak perempuan. Al-Baghawi berkata: “Yakni seperti Muhammad saw.”
Wa yaj’alu may yasyaa-u ‘aqiimaa (“Dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendakinya.”) yaitu tidak melahirkan anak. Al-Baghawi berkata: “Yakni, seperti Yahya dan ‘Isa. Sehingga Dia menjadikan manusia menjadi empat golongan; ada yang diberikan anak-anak perempuan saja, ada yang diberikan anak-anak lelaki saja, ada yang diberikan kedua-duanya dan ada juga yang sama sekali tidak diberikan dengan dijadikan-Nya mandul, tidak mempunyai keturunan dan anak.”
innaHuu ‘aliimun (“Sesungguhnya Dia Mahamengetahui.”) siapa yang berhak untuk masing-masing mendapat bagiannya. Qadiirun (“Lagi Mahakuasa”) atas kehendak-Nya membuat tingkat perbedaan antara manusia dalam masalah tersebut. Konteks ini sama dengan firman Allah kepada ‘Isa as.: wa lanaj’alaHu aayatallin naasi (“Dan agar Kami jadikan tanda kebesaran bagi manusia.”) yakni tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi bagi mereka, dimana Dia menciptakan makhluk [manusia] menurut empat golongan. Adam diciptakan dari tanah, bukan dari wanita dan pria. Hawwa diciptakan dari pria tanpa wanita. Seluruh manusia selian ‘Isa diciptakan dari pria dan wanita. Sedangkan ‘Isa as. diciptakan dari wanita tanpa pria. Tanda-tanda tersebut sempurna dengan penciptaan ‘Isa. Untuk itu Allah berfirman: wa lanaj’alaHu aayatallin naasi (“Dan agar Kami jadikan tanda kebesaran bagi manusia.”) konteks ini adalah untuk para bapak. Sedangkan konteks pertama adalah pada anak-anak. Dan setiap keduanya menrupakan empat bagian. Mahasuci Allah Yang Mahamengetahui lagi Mahakuasa.
“51. dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. 52. dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
53. (yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (asy-Syuura: 51-53)
Ini merupakan tingkatan-tingkatan wahyu dari sisi Allah. Dia terkadang menanamkan dalam jiwa Rasulullah saw. sesuatu, dimana beliau tidak meragukan bahwa hal itu adalah dari Allah swt. sebagaimana tercantum dalam Shahih Ibni Hibban, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Ruhul Qudus meniupkan di dalam jiwaku, bahwa satu jiwa tidak akan mati sampai mendapatkan rizky dan ajalnya secara sempurna. Maka bertakwalah kepada Allah dan carilah rizky dengan sebaik-baiknya.”
Firman Allah: au miw waraa-i hijaab (“atau di belakang tabir.”) sebagaimana Dia mengajak bicara Musa, lalu Musa meminta melihat-Nya setelah diajak bicara, akan tetapi dilarang-Nya.
Di dalam hadits shahih dinyatakan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Jabir bin ‘Abdillah: “Tidak ada seorangpun yang diajak bicara oleh Allah, kecuali dari balik tabir, dan sesungguhnya Dia berbicara kepada ayahmu secara langsung.” Demikian dinyatakan dalam hadits. Dan ayahnya itu telah terbunuh dalam perang Uhud, akan tetapi ini terjadi di alam Barzakh, sedang ayat ini adalah di dunia.
Firman Allah: au yursila rasuulan fa yuuhiya bi-idzniHii maa yasyaa-u (“Atau dengan mengutus seorang utusan [malaikat], lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.”) sebagaimana Jibril dan malaikat-malaikat lain turun kepada para Nabi. innaHuu ‘aliyyun hakiim (“Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi Mahabijaksana.”) yakni, Dia Mahatinggi, Mahamengetahui, Mahamendalami lagi Mahabijaksana.
Firman Allah: wa kadzaalika au hainaa ilaika ruuham min amrinaa (“Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami.”) yaitu al-Qur’an. Maa kunta tadrii mal kitaabu walal iimaan (“Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.”) yakni secara rinci yang disyariatkan bagimu di dalam al-Qur’an. Walaa kin ja-‘alnaaHu (“tetapi Kami menjadikannya”) yakni al-Qur’an itu, nuuran naHdiibiHii man nasyaa-u min ‘ibaadinaa (“cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”)
Dan firman Allah: wa innaka (“Dan sesungguhnya kamu”) hai Muhammad. lataHdii ilaa shiraathim mustaqiim (“benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”) yaitu kebenaran yang lurus. Kemudian Dia menafsirkannya dengan firman-Nya: “[yaitu] jalan Allah.” Yakni syariat yang diperintahkan-Nya: alladzii laHuu maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bum.”) yaitu Rabb, Pemilik, Pengatur dan Penguasa keduanya, tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya. Alaa ilallaaHi tashiirul umuur (“Ingatlah bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.”) artinya, kepada-Nya seluruh urusan dikembalikan, lalu dirinci dan diberikan putusan oleh Allah. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dhalim dan menentang.
Selesai.

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syuura (12)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syuura (Musyawarah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 42: 53 ayat

Setelah Allah mencela tindak kedhaliman dan mensyariatkan qishash [hukum pembalasan], Dia pun menganjurkan kepada pemberi maaf dan ampun, dengan berfirman: wa laman shabara wa ghafara (“Tetapi orang-orang yang bersabar dan memberi maaf”) yakni bersabar atas perbuatan yang menyakitkan dan menutupi kesalahan [orang lain]. Inna dzaalika lamin ‘azmil umuur (“Sesungguhnya [perbuatan] yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”) Sa’id bin Jubair berkata: “Yakni termasuk hal-hal yang haq, yang diperintahkan Alah Ta’ala. Artinya termasuk perkara-perkara yang tersanjung dan perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang mendapatkan pahala besar dan pujian baik. Maka kembalilah kepada pintu maaf, karena itu merupakan pintu yang luas. Barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya menjadi tanggungan Allah. Dan orang yang suka memaafkan, dapat tidur di atas kasurnya pada malam hari; sedang orang yang suka membela diri akan selalu berusaha membalik-balikkan segala perkara.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Ada seorang laki-laki mencaci-maki Abu Bakar ra. ketika Nabi saw. sedang duduk. Maka Nabi pun merasa heran dan tersenyum. Setelah orang itu berulang kali mencaci maki, Abu Bakar membalas sebagian ucapannya. Lalu Nabi marah dan berdiri, maka Abu Bakar menyusul beliau saw. dan berkata: “Ya Rasulallah, sungguh ia tadi mencaci makiku ketika engkau sedang duduk. Dan tatkala aku membalas sebagian ucapannya, engkaupun marah dan berdiri.” Nabi pun bersabda: “Sungguh, tadi ada seorang malaikat bersamamu yang melindungimu. Tetapi setelah engkau membalas sebagian ucapannya, datanglah syaitan. Karena itu, tidak patut aku duduk bersama syaitan.” Kemudian beliau bersabda: “Wahai Abu Bakar. Ada tiga perkara yang semuanya adalah haq. Yaitu tiada seorang hamba yang didhalimi dengan suatu kedhaliman lalu ia memaafkannya karena Allah, melainkan Allah pasti memuliakannya dan membelanya karena kedhaliman itu. Tiada seorang laki-laki membuka pintu pemberian karena ingin menyambung [hubungan kekeluargaan], melainkan Allah semakin menambah banyak hartanya karena pemberian itu. Dan tiada seorang laki-laki membuka pintu meminta-minta karena ingin memperoleh banyak [harta], melainkan Allah semakin mempersedikit hartanya.” (diriwayatkan pula oleh Abu Dawud) hadits ini mempunyai makna yang sangat indah, dan sesuai bagi Abu Bakar ash-Shiddiq.
“44. dan siapa yang disesatkan Allah Maka tidak ada baginya seorang pemimpinpun sesudah itu. dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: “Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?” 45. dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam Keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. dan orang-orang yang beriman berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah, Sesungguhnya orang- orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal. 46. dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung-pelindung yang dapat menolong mereka selain Allah. dan siapa yang disesatkan Allah Maka tidaklah ada baginya satu jalanpun (untuk mendapat petunjuk).” (asy-Syuura: 44-46)
Allah memberitakan tentang diri-Nya Yang Mulia, bahwa apa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, tidak ada yang mampu menolak-Nya. Dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi dan tidak ada yang mampu untuk mengadakannya. Barangsiapa yang diberi-Nya hidayah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Sebagaimana Allah berfirman: wa may yudl-lilillaaHu fa maa laHuu miw waliyyim mim ba’diHi (“Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada baginya seorang pemimpin pun sesudah itu.”) kemudian Allah mengabarkan tentang orang-orang dhalim, yaitu mereka menyekutukan Allah. Lammaa ra-awul ‘adzaaba (“Ketika mereka melihat adzab.”) yaitu pada hari kiamat, mereka mengharapkan kembali ke dunia. Yaquuluuna Hal ilaa maraddim min sabiil (“Mereka berkata: ‘Adakah kiranya jalan untuk kembali [ke dunia]?’”)
Firman Allah: wa taraaHum yu’ridluuna ‘alaiHaa (“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan di atasnya.”) yaitu di atas neraka. khaasyi-‘iina minadzdzull (“Dalam keadaan tunduk karena [merasa] terhina.”) yakni, kehinaan yang menimpa mereka disebabkan kemaksiatan kepada Allah yang dahulu mereka lakukan.
Yandhuruuna min tharfin khafiyy (“mereka melihat dengan pandangan yang lesu.”) Mujahid berkata: “Yaitu hina.” Artinya, mereka memandang kepadanya dengan pandangan mencuri karena takut terhadapnya. Sedangkan apa yang mereka takutkan pasti terjadi dan bahkan sesuatu yang lebih besar dari apa yang tergambar di dalam jiwa mereka. Semoga Allah melindungi kita dari semua itu.”
Wa qaalalladziina aamanuu (“Dan orang-orang yang beriman berkata.”) yaitu mereka berkata pada hari kiamat. Innal khaasiriina (“sesungguhnya orang-orang yang merugi.”) yaitu dengan kerugian besar. Lilladziina khasiruu anfusaHum wa aHliHim yaumal qiyaamaH (“ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan [kehilangan] keluarga mereka pada hari kiamat.”) yakni mereka digiring ke dalam api neraka, lalu mereka kehilangan kesenangan diri mereka di negeri yang kekal selama-lamanya dan mereka merugikan diri sendiri. Serta mereka dipisahkan dari kekasih-kekasih, teman-teman, dan kerabat-kerabat mereka, sehingga mereka kehilangan semuanya.
Alaa innadh dhaalimiina fii ‘adzaabim muqiiim (“Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu berada dalam adhab yang kekal.”) yakni, abadi selama-lamanya, mereka tidak dapat keluar dan meloloskan diri darinya.
Firman Allah: wa maa kaana laHum min auliyaa-a yanshuruunaHum min duunillaaH (“dan mereka sekali-sekali tidak mempunyai pelindung-pelindung yang dapat menolong mereka selain Allah.”) yakni yang dapat menyelamatkan mereka dari siksaan dan hukuman yang mereka alami. Wa may yudl-lilillaaHu fa maa laHuu min sabiil (“dan siapa yang disesatkan Allah, maka tidaklah baginya sesuatu jalan pun [untuk mendapat petunjuk].”) yaitu, tidak ada baginya jalan selamat.
“47. Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). 48. jika mereka berpaling Maka Kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami Dia bergembira ria karena rahmat itu. dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena Sesungguhnya manusia itu Amat ingkar (kepada nikmat).” (asy-Syuura: 47-48)
Setelah Allah menceritakan apa yang terjadi pada hari kiamat berupa huru-hara dan hal-hal besar yang mengerikan, Dia memperingatkan mereka tentang peristiwa tersebut dan memerintahkan mereka untuk mempersiapkan diri. Dia berfirman: istajiibuu lirabbikum ming qabli ayya’tia yaumul laa maraddalaHuu minallaaH (“Patuhilah seruah Rabbmu sebelum datang dari Allah hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya.”) yakni, jika Dia diperintahkan terjadinya, maka semuanya menjadi seperti kejapan mata, tidak ada yang mampu menolak dan mencegahnya.
Firman Allah: maa lakum mim malja-iy yauma-idziw wa maa lakum min nakiir (“kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak [pula] dapat mengingkari [dosa-dosamu].”) yaitu tidak ada benteng yang mampu melindungimu dan tidak ada tempat yang mampu menutupimu dan mengingkari semua itu, hingga kalian mampu menghilang dari pandangan Allah. Bahkan, Dia Mahameliputi kalian dengan ilmu, pandangan dankekuasaan-Nya, tidak ada lagi tempat kembali kecuali kepada-Nya.
(bersambung ke bagian 13)

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syuura (11)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syuura (Musyawarah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 42: 53 ayat

Firman Allah: walladziina idzaa ashaabaHumul baghyu Hum yangtashiruuna (“Dan [bagi] orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dhalim, mereka membela diri.”) yakni sebenarnya mereka memiliki kemampuan membela diri dari orang yang mendhalimi dan sewenang-wenang terhadap mereka, mereka bukanlah orang-orang yang lemah dan hina, bahkan mereka mampu melakukan pembalasan terhadap orang yang mendhalimi mereka. Akan tetapi mereka memberi maaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya: “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadapmu, mudah-mudahan Allah mengampunimu.” (Yusuf: 92). Padahal, dia memiliki kemampuan untuk membalas sikap mereka kepadanya.
Demikian pula Rasulullah saw. memberikan maaf kepada 80 orang yang bermaksud menghalanginya pada tahun Hudaibiyah dan mereka turun dari bukit Tan’im. Ketika beliau mampu membalas mereka, beliau pun memberi maaf kepada mereka. Beliau juga memberi maaf kepada Ghaurats bin al-Harits yang hendak membunuhnya, ketika dia menghunus pedangnya terhadap beliau ketika beliau dalam keadaan tidur, lalu Rasulullah bangun hingga membuat gemetar al-Harits dan pedangnya jatuh. Rasulullah mengambil pedangnya dan memanggil para shahabat, memberitahukan kepada mereka tentang peristiwa itu dan beliau pun memaafkannya. Beliau juga memaafkan Labid bin al-A’Sham yang menyihir beliau, dimana beliau tidak menghukum dan mencelanya. Beliau juga memaafkan wanita Yahudi [yaitu Zainab, saudari Marhab, Yahudi Khaibar yang dibunuh oleh Mahmud bin Salamah] yang menghadiahkan kambing beracun kepada beliau pada perang Khaibar. Paha kambing itupun memberitahukan tentang keadaannya, lalu Nabi saw. memanggilnya dan wanita itupun mengakuinya. Rasulullah saw. bertanya: “Apa yang membuatmu melakukan hal ini?” wanita itu menjawab: “Aku ingin menguji. Jika engkau seorang Nabi, tentu hal itu tidak akan mencelakaimu. Dan jika engkau bukan seorang Nabi, kami merasa bebas dengan kematianmu.” Maka Rasulullah saw. membebaskannya. Akan tetapi setelah salah seorang shahabat, Bishir bin al-Barra’ wafat disebabkan racun tersebut, wanita itupun dibunuh karenanya. Dan masih banyak lagi hadits yang menerangkan sifat maaf Rasulullah saw. wallaaHu a’lam.
“40. dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. 41. dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. 42. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih. 43. tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan.” (asy-Syuura: 40-43)
Firman Allah: wa jazaa-u sayyi-atin sayyi-atum mitsluHu (“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.”) seperti firman Allah: “Oleh karena itu, barangsiapa yang menyerangmu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (al-Baqarah: 194)
Maka Dia mensyariatkan keadilan, yaitu qishash serta menganjurkan keutamaan, yaitu memaafkan. Dia berfirman: fa man ‘afaa wa ashlaha fa ajruHuu ‘alallaaHi (“Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas [tanggungan] Allah.”) yaitu semua itu tidak akan sia-sia di sisi Allah. Sebagaimana penjelasan hadits: “Allah tidak menambahkan bagi seorang hamba yang suka memaafkan melainkan kemuliaan [semakin mulia].”
Firman Allah: innaHuu laa yuhibbudh dhaalimiina (“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dhalim.”) yakni orang-orang yang melampaui batas, yaitu orang yang memulai berbuat kesalahan. Kemudian Allah berfirman: wa lamanin tashara ba’da dhulmiHii fa ulaa-ika maa ‘alaiHim min sabiilin (“dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka.”) yakni tidaklah berdosa jika mereka melakukan pembelaan diri dari orang yang mendhalimi mereka.
Yang shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Majah, bahwa ‘Aisyah berkata: “Aku tidak tahu sampai aku masuk menemui Zainab tanpa izin, dan dia dalam keadaan marah. Kemudian dia berkata kepada Rasulullah saw.: “Cukuplah bagimu, jika puteri Abu Bakar membalikkan untukmu pakaiannya.” Kemudian dia menghadap kepadaku dan aku pun berpaling darinya sehingga Nabi saw. berkata: “Lakukan pembelaan untuk dirimu.” Maka akupun menghadap kepadanya, sehingga aku lihat air liurnya telah kering dalam mulutnya, tanpa menjawabku sepatah katapun. Lalu aku melihat wajah Nabi saw. berseri-seri.” (demikian menurut lafadz an-Nasa’i)
Firman Allah: innamas sabiilu (“sesungguhnya dosa itu”) yakni kesalahan dan kebinasaan itu, ‘alalladziina yadhlimuunan naasa wa yabghuuna fil ardli bighairil haqqi (“Atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak.”) yaitu, orang yang memulai kedhaliman kepada manusia, sebagaimana dinyatakan dalam hadits shahih: “Bagi kedua orang yang saling mencela [adalah] apa yang dikatakannya. Dan [kesalahan] atas orang yang memulai selama orang yang didhalimi tidak melampaui batas.”
Ulaa-ika laHum ‘adzaabun aliimun (“Mereka itu mendapat adzab yang pedih.”) yakni keras dan menyakitkan.
Abu Bakar bin Abi Syaibah meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi’ ia berkata: ketika aku tiba di Makkah, aku mendapati sebuah jembatan berada di atas parit. Tatkala aku menyeberanginya, aku pun dibawa pergi kepada Marwan bin al-Muhallab, Gubernur Bashrah. Lalu dia berkata: “Apa keperluanmu, hai Abu ‘Abdillah?” aku menjawab: “Keperluanku, jika engkau mampu, agar anda menjadi seperti saudara Bani ‘Adi sebelumnya.” Ia pun bertanya: “Siapa itu saudara Bani ‘Adi?” Jawabku: “Ialah al-‘Ala’ bin Ziyad, pernah suatu saat ia mengangkat seorang temannya sebagai pelaksana untuk suatu pekerjaan. Lalu ia menulis pesan untuknya: ‘Amma ba’du, jika anda mampu, usahakanlah jangan sampai anda berangkat tidur malam kecuali dalam keadaan punggungmu ringan, perutmu lapar, dan telapak tanganmu bersih dari darah dan harta kaum Muslimin. Karena jika anda melaksanakan hal itu, maka tidak ada satu dosapun atasmu. ‘Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan malampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih.’ (asy-Syura: 42). Marwan pun berkata: “Benarlah dia, demi Allah, dan telah bersikap tulus.” Kemudian dia berkata pula: “Apa lagi keperluanmu, hai Abu ‘Abdillah?” Aku menjawab: “Keperluanku, pertemukanlah aku dengan keluargaku.” Dan dia berkata: “Ya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim)
(bersambung ke bagian 12)

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syuura (10)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syuura (Musyawarah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 42: 53 ayat

Firman Allah: au yuubiqHunna bimaa kasabuu (“atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka.”) yaitu seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia akan membinasakan kapal-kapal itu dan menenggelamkannya disebabkan dosa-dosa para penumpangnya. Wa ya’fu ‘ang katsiirin (“atau Dia memberi maaf sebagian besar dari [mereka].”) yaitu atas dosa-dosa mereka. Seandainya Dia akan menghukum mereka dengan seluruh dosa-dosa mereka, niscaya Dia akan binasakan orang yang mengarungi lautan.
Sebagian ulama tafsir berkata: “Makna firman Allah: au yuubiqHunna bimaa kasabuu (“atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka.”) yakni seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia akan mengirimkan angin dahsyat yang sangat panas, lalu menerpa kapal-kapal tersebut dan memalingkannya dari jalan yang lurus yang ditujunya, serta menggoncangkannya ke arah kanan dan kiri hingga menjadi kacau tanpa jalan dan arah yang dituju. Perkataan ini mengandung sesuatu tentang hancurnya kapal-kapal itu. Dan sesuai dengan pendapat yang pertama, yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan mendiamkan angin, lalu angin pun berhenti. Atau Dia kencangkan angin itu hingga kapal-kapal itu hancur binasa. Akan tetapi, karena kelembutan dan rammat-Nya, Dia mengirimkan angin sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana Dia mengirimkan hujan sesuai kecukupan. Seandainya Dia mengirimkan hujan secara berlimpah sekali, niscaya hancurlah gedung-gedung. Atau menurunkannya sedikit saja, niscaya tidak tumbuh tanam-tanaman dan buah-buahan. Sampai-sampai Dia mengirimkan ke negeri Mesir, misalnya air yang mengalir dari negeri lain, karena mereka tidak membutuhkan hujan. Seandainya hujan turun menimpa mereka, niscaya hancurlah bangunan-bangunan mereka dan runtuhlah tembok-tembok mereka.
Firman Allah: wa ya’lamalladziina yujaadiluuna fii aayaatinaa maa laHum mim mahiish (“dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat [kekuasaan] Kami mengetahui, bahwa mereka sekali-sekali tidak akan memperoleh jalan keluar [dari siksaan].”) yakni tidak ada jalan keluar bagi mereka dari adzab Kami, karena mereka berada di bawah kekuasaan Kami.
“36. Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. 37. dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. 38. dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. 39. dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (asy-Syuura: 36-39)
Allah berfirman, merendahkan kehidupan dunia dan perhiasannya serta keindahannya dan kenikmatan fana yang terdapat di dalamnya dengan firman-Nya: famaa uutiitum min syai-in fa mataa’ul hayaatiddun-yaa (“maka sesuatu apa pun yang diberkan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia.”) yakni apa saja yang kalian raih dan kalian kumpulkan, maka janganlah kalian tertipu, karena semua itu hanyalah nikmat kehidupan dunia. Dunia adalah tempat tinggal yang rendah, fana dan pasti akan binasa. Wa maa ‘indallaaHi khairuw wa abqaa (“dan yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal.”) yakni pahala di sisi Allah lebih baik daripada dunia, karena dia adalah kekal selama-lamanya. Maka janganlah mendahulukan sesuatu yang fana atas sesuatu yang kekal.
Untuk itu Allah berfirman: lilladziina aamanuu (“Bagi orang-orang yang beriman.”) yaitu bagi orang-orang yang sabar dalam meninggalkan kelezatan dunia. Wa ‘alaa rabbiHim yatawakkaluuna (“Dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakal”) yakni guna menolong mereka bersikap sabar dalam menunaikan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai larangan. Kemudian Allah berfirman: walladziina yajtanibuuna kabaa-iral itsmi wal fawaahisya (“Dan [bagi] orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji.”) pembicaraan tentang dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji telah dijelaskan dalam surah al-A’raaf. Wa idzaa maa ghadlibuu Hum yaghfiruuna (“Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf.”) yakni tabiat mereka menyebabkan mereka berlapang dada dan memaafkan manusia, bukan mendendam manusia.
Tercantum di dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw. tidak mendendam untuk dirinya sedikitpun, kecuali bila larangan-larangan Allah dilanggar.
Di dalam hadits lain, beliau bersabda kepada salah seorang kami, ketika mencela: “Mengapa dia, rugilah apa yang diperbuatnya.”
Firman Allah: walladziinas tajaabuu rabbaHum (“dan [bagi] orang-orang yang menerima [mematuhi] seruah Rabbnya.”) yakni mengikuti Rasul-Nya, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Wa aqaamush shalaata (“dan mendirikan shalat.”) dan shalat merupakan ibadah terbesar kepada Allah.
Wa amruHum syuuraa bainaHum (“sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka.”) yaitu, mereka tidak menunaikan satu urusan hingga mereka bermusyawarah agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka, seperti dalam peperangan dan urusan sejenisnya, sebagaimana firman Allah: wa syaawirHum fil amri (“dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan ini.”)(Ali Imraan: 159)
Untuk itu Rasulullah saw. bermusyawarah dengan para shahabat dalam menentukan peperangan dan urusan sejenisnya, agar hati mereka menjadi baik. Demikian pula ketika Umar bin al-Khaththab menjelang wafat setelah ditusuk oleh seseorang, dijadikan masalah sesudahnya berdasarkan musyawarah enam orang shahabat, yaitu Utsman, ‘Ali, Thalhah, az-Zubair, Sa’ad dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, maka para shahabat bermufakat untuk mengangkat Utsman.
Wa mimmaa razaqnaaHum yungfiquuna (“dan mereka menafkahkan sebagian dari rizky yang Kami berikan kepada mereka.”) hal itu dilakukan dengan berbuat baik kepada para makhluk Allah, dari mulai kerabat dan orang-orang terdekat setelahnya.
(bersambung ke bagian 11)

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syuura (9)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syuura (Musyawarah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 42: 53 ayat

Firman Allah: wa Huwalladzii yunazzalul ghaitsa mim ba’di maa qanathuu (“dan Dia-lah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa.”) yaitu setelah manusia berputus asa akan turunnya hujan, dengan menurunkannya di saat mereka membutuhkannya dan amat menghajatkannya, seperti firman Allah: “Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar berputus asa.” (ar-Ruum: 49)
Firman Allah: wa yansyuru rahmataHu (“Dan menyebarkan rahmat-Nya.”) yaitu menyamakan keberadaannya untuk penduduk dan wilayah itu.
Qatadah berkata: Telah diceritakan kepada kami, bahwa seorang laki-laki berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab: “Hai Amirul Mukminin, hujan tidak turun dan manusia mulai berputus asa.” Umar berkata: “Kalian akan ditimpa hujan.” Lalu ia membaca: wa Huwalladzii yunazzalul ghaitsa mim ba’di maa qanathuu wa yansyuru rahmataHu wa Huwal ‘aliyyul hamiid (“Dan menyebarkan rahmat-Nya.”) (“dan Dia-lah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah Yang Mahamelindungi lagi Mahaterpuji.”) Dia-lah Yang mengatur urusan makhluk-Nya dengan sesuatu yang memberikan manfaat bagi dunia dan akhirat mereka. Dia-lah Mahaterpuji kesudahannya dalam seluruh apa yang ditentukan dan diperbuat-Nya.
“29. di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia sebarkan pada keduanya. dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya. 30. dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). 31. dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah.” (asy-Syuura: 29-31)
Allah berfirman: wa min aayaatiHii (“dan di antara ayat-ayat-Nya.”) yakni yang menunjukkan keagungan-Nya, keperkasaan-Nya yang besar dan kekuasaan-Nya yang memaksa, khalqus samaawaati wal ardli wa maa batstsa minHumaa (“Ialah menciptakan langit dan bumi dan Dia sebarkan di antara keduanya.”) yaitu Dia menciptakan di antara keduanya yaitu langit dan bummii, min daabbaH (“makhluk-makhluk yang melata.”) mencakup para malaikat, manusia, jin dan seluruh hewan dengan bentuk, warna, bahasa, tabiat, jenis dan macam-macam mereka. Dia menebarkan mereka di seluruh pelosok langit dan bumi. Wa Huwa (“Dan Dia.”) di samping seluruhnya ini, ‘alaa jam’iHim idzaa yasyaa-u qadiir (“Mahakuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya.”) yaitu pada hari kiamat, Dia mengumpulkan makhluk pertama dan makhluk terakhir serta seluruhnya di satu padang, dimana orang yang menyeru akan didengar mereka, dan pandangan mata akan menjangkau mereka. Lalu Dia menghukum mereka dengan hukum-Nya yang adil dan benar.
Firman Allah: wa maa ashaabakum mim mushiibatin fabimaa kasaba aidiikum (“Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”) apa saja musibah yang menimpa kalian hai manusia, maka hanyalah disebabkan kesalahan-kesalahan yang kalian lakukan. Wa ya’fuu ‘ang katsiir (“Dan Allah memaafkan sebagian besar.”) yakni dari kesalahan-kesalahan kalian. Maka Dia tidak membalas kalian dengan kesalahan pula, bahkan Dia memaafkannya. “Jikalau Allah menghukum manusia karena kedhalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu makhluk pun dari makhluk yang melata.” (an-Nahl: 61)
Dinyatakan dalam sebuah hadits shahih: “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada sesuatupun yang menimpa seorang mukmin, berupa kesalahan, penyakit, kesedihan dan duka cita, melainkan Allah akan menghapuskan dari dosa-dosanya, sampai-sampai duri yang menusuk kakinya [sekalipun].”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa ‘Ali berkata: Maukah kuberitahukan kepada kalian ayat dalam Kitabullah yang paling utama, dimana Rasulullah saw. bercerita kepada kami tentang hal itu. Beliau bersabda: “’Dan apa saja musibah yang menimpamu, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendir dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu.’ Dan aku akan menafsirkannya untukmu hai Ali: Tidak ada satupun yang menimpamu, berupa penyakit, hukuman atau cobaan di dunia, maka disebabkan oleh tangan kalian sendiri. Sedangkan Allah Mahapenyantun untuk menimpakan lagi hukuman-Nya di akhirat. Dan apa saja yang Allah maafkan di dunia, maka Allah Mahapemurah untuk kembali [menghukumnya] setelah memberikan maaf-Nya.’”
(Demikian pula diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Marwan bin Mu’awiyah dan ‘Abdah, dari Abu Sakhilah, bahwa ‘Ali ra. berkata, lalu dia menyebutkannya secara marfu’)
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika dosa seorang hamba begitu banyak, sedangkan dia tidak memiliki sesuatu yang dapat menghapusnya, maka Allah akan mengujinya dengan kedukaan agar dapat menghapusnya.”
“32. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. 33. jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, Maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaannya) bagi Setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur, 34. atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian besar (dari mereka). 35. dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan ke luar (dari siksaan).” (asy-Syuura: 32-35)
Allah berfirman bahwa di antara ayat-ayat-Nya yang menunjukkan keperkasaan-Nya yang hebat, dan kekuasaan-Nya adalah ditundukkan-Nya lautan agar kapal-kapal dapat berlayar sesuai dengan perintah-Nya: kal a’laam (“seperti gunung-gunung”) demikian yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan, as-Suddi dan adl-Dlahhak. Maksudnya kapal-kapal di lautan itu seperti gunung-gunung di daratan.
Firman-Nya: iy yasyaa-u yuskinir riiha (“Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin”) yaitu yang menggerakkan kapal-kapal di lautan. Seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia akan mendiamkannya, sehingga kapal-kapal itu tidak dapat bergerak, bahkan tetap diam, tidak pergi dan tidak pulang, terus berhenti di permukaan air. Inna fii dzaalika la-aayaati likulli shabbaarin (“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda [kekuasaan]Nya bagi setiap orang yang banyak bersabar.”) yakni dalam menghadapi kesulitan. Syakuur (“dan banyak bersyukur”) yakni sesungguhnya di dalam proses ditundukkan-Nya lautan dan ditiupkannya angin sesuai kebutuhan perjalanan mereka terdapat tanda-tanda atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya bagi orang-orang yang banyak bersabar dalam menghadapi berbagai kesulitan dan banyak bersyukur di saat memperoleh kesenangan.
(bersambung ke bagian 10)

Tafsir Al-Qur’an Surah Asy-Syuura (8)

Tafsir Ibnu Katsir Surah Asy-Syuura (Musyawarah)
Surah Makkiyyah; Surah ke 42: 53 ayat

“25. dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan, 26. dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. dan orang-orang yang kafir bagi mereka azab yang sangat keras. 27. dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat.28. dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. dan Dialah yang Maha pelindung lagi Maha Terpuji.” (asy-Syuura: 25-28)
Allah berfirman tentang karunia-Nya yang dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya dengan diterimanya taubat mereka jika mereka bertaubat dan kembali kepada-Nya. Dan di antara kemuliaan dan kemurahan-Nya adalah memaafkan, menghapuskan, menutupi dan mengampuni, seperti firman Allah yang artinya: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah [adalah] Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (an-Nisaa’: 10)
Tercantum dalam shahih Muslim –semoga rahmat Allah untuknya, dia berkata: Muhammad bin ash-Shabah dan Zubair bin Harb berkata: Umar bin Yunus meriwayatkan kepada kami, dari ‘Ikrimah bin ‘Ammar, dari Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa pamannya, yaitu Anas bin Malik berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Allah Ta’ala amat bergembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat [melebihi] dibanding dengan [kegembiraan] seseorang di antara kalian yang sedang mengendarai binatang tunggangan di tengah padang pasir. Lalu binatang tunggangannya itu tiba-tiba lenyap, padahal di atasnya terdapat makanan dan minumannya. Saat ia berputus asa mencarinya, lalu iapun mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawahnya. Tiba-tiba binatang kendaraannya itu berada di sisinya, lalu iapun mengambil tali pengikatnya. Kemudian ia berkata karena amat gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu,’ dia salah berkata karena gembiranya.”
Tercantum juga dalam sebuah kitab shahih, dalam riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud dengan redaksi serupa.
Firman Allah: wa ya’fuu ‘anis sayyi-aati (“dan memaafkan kesalahan-kesalahan.”) yaitu menerima taubat pada masa yang akan datang dan memaafkan kesalahan-kesalahan di masa lalu. Wa ya’lamu maa taf’aluuna (“dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”) yaitu Dia Mahamengetahui seluruh apa yang kalian kerjakan, lakukan dan katakan. Di samping itu, Dia pun menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya.
Firman Allah: wa yastajiibulladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati (“Dan Dia memperkenankan [doa] orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang shalih.”) as-Suddi berkata: “Yaitu mengabulkan bagi mereka.” Begitu pula Ibnu Jarir berkata: “Maknanya adalah mengabulkan doa mereka untuk mereka sendiri, shahabat-shahabat mereka dan saudara-saudara mereka. Dia menceritakan dari sebagian ahli nahwu, yang menjadikannya seperti firman Allah: fastajaaba laHum rabbuHum (“Lalu Rabb mereka memperkenankan bagi mereka.”)(Ali ‘Imraan: 195)
Ibnu Jarir menceritakan dari sebagian ahli bahasa Arab yang menjadikan firman Allah: alladziina yastami-‘uunal qaula (“orang-orang yang mendengarkan perkataan.”)(az-Zumar: 18). Yaitu mereka menerima kebenaran dan mengikutinya, seperti firman Allah: “Hanya orang-orang yang mendengar sajalah yang mematuhi [seruan Allah], dan orang-orang yang meninggal akan dibangkitkan oleh Allah.” (al-An’am: 36). Makna yang pertama lebih jelas berdasarkan firman Allah: wa yaziiduHum min fadl-liHi (“Dan menambahkan [pahala] kepada mereka dari karunia-Nya.”) yaitu, Dia memperkenankan doa-doa mereka dan memberikan tambahan lagi mereka di atas semua itu.
Untuk itu, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Abdullah, bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang firman Allah: wa yaziiduHum min fadl-liHi (“Dan menambahkan [pahala] kepada mereka dari karunia-Nya.”): “Syafaat [itu] bagi orang yang harus masuk api neraka di antara orang yang telah melakukan kebaikan kepada mereka di dunia.”
Qatadah bekata bahwa Ibrahim an-Nakha’i berkata tentang firman Allah: wa yastajiibulladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati (“Dan Dia memperkenankan [doa] orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang shalih.”) yakni mereka memberi syafaat kepada saudara-saudara mereka. wa yaziiduHum min fadl-liHi (“Dan menambahkan [pahala] kepada mereka dari karunia-Nya.”) yakni mereka memberikan syafaat kepada para saudaranya saudara-saudara mereka.”
Firman Allah: wal kaafiruuna laHum ‘adzaabun syadiidun (“Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka adzab yang sangat keras.”) setelah Dia menyebutkan orang-orang beriman dan pahala yang melimpah yang mereka dapatkan, Dia pun menyebutkan orang-orang kafir dan adzab yang pedih yang menyakitkan yang mereka peroleh pada hari kiamat, yaitu hari kembali dan hari perhitungan mereka.
Firman Allah: walau basathallaaHur rizqa li-‘ibaadiHii labaghau fil ardli (“Dan jikalau Allah melapangkan rizky kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi.”) seandainya Dia memberikan kepada mereka rizky di atas kebutuhan mereka, niscaya hal itu akan membawa mereka berlaku sewenang-wenang dan saling mendhalimi satu dengan yang lainnya karena angkuh dan sombong.
Qatadah berkata: “Ada ungkapan: kehidupan yang baik adalah yang tidak melalaikanmu dan tidak menjadikanmu melampaui batas.”
Firman Allah: wa laa kiy yunazzalu biqadarim maa yasyaa-u innaHuu bi-‘ibaadiHii khabiirum bashiir (“Tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Mahamengetahui [keadaan] hamba-hamba-Nya lagi Mahamelihat.”) yaitu, akan tetapi Dia memberikan rizky kepada mereka sesuatu yang dipilih-Nya untuk kemashlahatan mereka. Dia mengetahui tentang hal tersebut. Dia menjadikan kaya orang yang berhak menerima kekayaan dan menjadikan fakir kepada orang yang berhak menerima kefakiran.
(bersambung ke bagian 9)