Jumat, 26 Juli 2013

Kunci Menyingkap Hijab

Kunci Menyingkap Hijab
Banyak cara yang boleh dilakukan untuk menyingkap hijab, terutama bagi setiap orang yang berjalan menuju Allah (salik). Sebab ketika seseorang tidak mampu menyingkap hijab, bererti selama itu pula dia tidak dapat lepas dari jeratan syirik, baik syirik jali (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi).
Syarat utama untuk berjumpa dengan Allah ialah tidak boleh syirik sama sekali, teristimewa dalam menjalankan ibadah. Perjuangan yang harus terus dilakukan ialah mencari cara agar mampu menyingkap hijab itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, yang selalu mengajak orang berpaling dari Allah adalah nafsu yang ada di dalam diri, terutama nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat (uraian tentang nafsu dapat dilihat pada Kasyaf Edisi 1). Nafsu, meski di satu sisi berfungsi menggairahkan hidup, namun jika tidak dikendalikan dan tidak dikembalikan kepada Allah, dapat menyeret seseorang pada tipu daya kehidupan dunia. Nafsu dapat membuat batin terombang-ambing, kerana desakan beragam peristiwa, keadaan, keinginan dan cita-cita. Dalam situasi demikian, pandangan seseorang akan mudah terhijab (terdinding) dan berpaling kepada selain Allah. Untuk itu diperlukan kemampuan mengendalikan nafsu agar tidak terhalang dalam memandang Allah.
Kerana ketika nafsu tidak mampu dikendalikan, maka nafsu tersebut akan menguasai diri sepenuhnya, bahkan dapat menjadi tuhan selain Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS Al Jaatsiyah: 23).
Pada saat nafsu telah menguasai diri, itu petanda hijab telah menutupi pandangan hati, juga tidak menutup kemungkinan akan terus ke pendengaran, penglihatan dan akal. Pada akhirnya, penglihatan tidak mampu menyaksikan keindahan sifat Allah, pendengaran tidak mampu merasakan dahsyatnya ayat-ayat Allah dan akalnya tidak mampu menerima percikan cahaya Ilahi. Itu semua adalah tanda dari orang yang sedang disesatkan Allah.
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus” (QS Al An’aam: 39).
Salah satu cara untuk menyingkap hijab adalah dengan jalan mengendalikan nafsu dan mematikannya. Dalam hadis Nabi saw. menganjurkan:
“Matikan nafsumu sebelum kamu mati.” (tertera pada Kitab Ad-durun Nafis).
Orang yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya, akan memiliki pandangan yang jernih dalam menatap Wujudul Haq (wujud Allah). Diumpamakan bagai telaga yang airnya jernih, tampak jelas keindahan semua isinya. Sebaliknya, telaga yang airnya kotor tidak terlihat apapun, kecuali hanya kekeruhan. Orang yang dapat menahan diri dari keinginan hawa nafsunya dan takut Tuhannya, akan memetik keindahan syurga.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurga sebagai tempatnya.” (QS An Naajiyat: 40).
Orang-orang seperti itulah yang akan dapat menikmati keindahan syurga, yaitu terbukanya tirai Ilahi. Barangsiapa rindu berjumpa dengan Allah, hendaklah menahan diri dari mengikuti hawa nafsu. Berbahagialah orang-orang yang telah membersihkan jiwanya dari keterikatan hawa nafsu.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu senantiasa berhubungan (memandang Allah).” (QS Al ‘Ala: 14-15).

Prasangka
Hijab paling dahsyat ialah zhan (baca: zhon atau prasangka). Disusul hijab “rasa” yang sangat berbahaya dan bisa meruntuhkan benteng keyakinan. Semua itu adalah hijab dalam memandang wujud Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sangka-sangka, kerana sebahagian dari sangka-sangka itu dosa.” (QS Al Hujaraat: 13).
Apa yang telah menjadi prasangka kebanyakan orang tentang adanya sesuatu selain Allah, sesungguhnya jauh dari kebenaran. Kerana prasangka tersebut, hanya sebuah pandangan atau sebatas persepsi yang sudah melekat erat sesuai alur kehidupan.
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS An Najm: 28).
Kerananya, singkirkan segala prasangka dari dalam hati dan fikiran, dengan cara syuhud. Yakni memandang keEsaan wujud Allah melalui basyiratul qalbi (mata hati).

Penyingkap hijab
Pengertian syuhud sebagai basyiratul qalbi (pandangan mata hati) seperti kaedah yang tertera dalam kitab Ad-durun Nafis: SYUHUUDUL KATSRAH FILWAHDAH, SYUHUUDUL WAHDAH FILKATSRAH “Pandang yang banyak pada yang satu dan pandang yang satu pada yang banyak”. Sampai menemukan keyakinan dan pandangan yang benar, andai diungkapkan dalam bentuk kata-kata, maka lahirlah: “Tidak aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah padanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sertanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelumnya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sesudahnya”. Itulah kunci-kunci penyingkap hijab.
Kunci-kunci tersebut harus dipraktikkan dengan landasan pemahaman tentang tauhidul af’al, tauhidul asma, tauhidus sifat dan tauhidu dzat (esa perbuatan, nama, sifat dan zat Allah). Inilah yang menjadi tonggak keyakinan, untuk memandang setiap kejadian di alam semesta pada hakikatnya perbuatan Allah, setiap nama hakikatnya nama Allah, setiap sifat hakikatnya sifat Allah dan setiap zat hakikatnya adalah zat Allah.
Bila semua perbuatan, nama, sifat dan zat telah disandarkan kepada Allah, maka akan membuahkan sikap terpuji yang disebut akhlakul karimah. Selanjutnya orang tersebut akan memiliki sikap tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sebagaimana terlukis pada kehidupan Rasulullah saw. Beliau memiliki sifat sabar, ikhlas, tawadhu (rendah hati) dan sifat terpuji lainnya. Akhlak tersebut tidak dipaksakan, tetapi muncul apa adanya sebagai refleksi syuhud.
Acuan syuhud adalah kalimat Laailaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yang berlanjut pada makna: Tidak ada sesuatu apapun selain Allah. Rasulullah saw. bersabda: “Kunci syurga itu Laailaha illallah”. Disebut kunci syurga, kerana syurga bagi orang yang sedang menuju Allah difahami sebagai syurga dalam arti ma’rifah. Seseorang tidak akan ma’rifah tanpa membuka kuncinya. Kunci itu adalah mengamalkan kalimat Laailaha illallah sampai menemukan hakikat fana.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 26-27).
Tatkala sampai pada darjat fana, maka tersingkaplah tirai yang menghalangi dalam memandang Allah. Fana ini pun sebagai kunci pembuka tirai Ilahi.
Namun perlu digaris bawahi di sini, syuhud bukanlah wacana akal dan bukan pula perdebatan lisan, tapi Syuhud ada dalam rasa. Bagaimana rasa kehambaan sirna dalam rasa-Nya, tentunya rasa dalam arti Esa. Demikian syuhud bagi para arifin billah. Tapi syuhud bagi salikin, dengan sarana ilmu tauhid untuk memandang kepada-Nya, hingga tertanam ‘ilmul yaqin (keyakinan ilmu).
Syuhud juga dilakukan dengan menggunakan syua’ul basyirah (penglihatan akal) dan ainul basyirah (penglihatan ilmu). Kemudian mengaplikasikan ilmu itu ke dalam kehidupannya, seiring zikir yang istiqomah. Sehingga muncul inner power atau kekuatan dari dalam diri yang dapat memacu semangat berjalan menuju kepada-Nya. Akhirnya dengan pengamalan syuhud yang benar akan runtuh segala prasangka dan tersingkaplah seluruh hijab.

Menghadirkan Allah
Membiasakan syuhud sekaligus diiringi zikir, ibadah, dan thariqah (tarikat) itu harus dilakukan dengan bimbingan seorang mursyid, yakni seorang pembimbing yang waliyan mursyidan, waratsatul anbiya (pembimbing yang bijak dan benar-benar sebagai pewaris nabi).
Untuk dapat mengamalkan syuhud dengan baik dan benar perlu diiringi dengan zikir. Baik dengan zikir lisan, zikir aqli (akal), zikir qalbi (hati) maupun zikir sirri (rahsia). Juga diperlukan upaya yang bersungguh-sungguh agar Allah selalu hadir (hudhurullah) di dalam hati, sehingga secara perlahan-lahan akan selalu memandang Allah. Bahkan yang ada dan yang dipandang hanya keelokan dan keagungan wujud Allah.
Hudhurullah adalah membalik kesadaran hamba menjadi kesedaran robbaniyah (ketuhanan). Apabila pandangan hamba menghadap kepada Allah nescaya hilanglah makhluk dan yang tampak adalah wujud-Nya. Sebaliknya apabila pandangan hamba menghadap kepada makhluk, nescaya hilanglah Allah. Dua pandangan tersebut tidak dapat berjalan secara bersama.
Untuk memahami hal tersebut harus mengerti istilah “nafi itsbat” dalam kalimat Laailaaha illallah. Lafaz laa adalah nafi, artinya meniadakan. Sedangkan lafaz Ilaaha sebagai manfi, artinya yang ditiadakan. Adapun itsbat-nya adalah lafaz Illa, artinya kecuali. Dan mutsbit-nya adalah Allah. Lafaz Ilaha berarti sesuatu yang dimaknai Tuhan.
Sesuatu yang menjadi tuhan, meliputi segala yang dicintai dan disayangi hingga membatu dan berubah jadi berhala dalam hati. Kerana itu, dalam kalimat nafi istbat yang harus dinafikan adalah pandangan kepada makhluk. Sebab selama memandang makhluk, tidak mungkin dapat memandang Allah dan untuk dapat memandang Allah, harus fana kemakhlukannya. Allah dan makhluk tidak dapat disatukan dan juga tak dapat dipisahkan, masalah ini bagaikan keberadaan malam dengan siang. “Semua yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 26-27).

Menunggu Warid
Untuk menyingkap hijab, seseorang tidak dapat mengandalkan kekuatan dan kemampuan dirinya, melainkan semata-mata dengan kekuatan dan anugerah Allah. Banyak orang yang terhijab dalam memandang Allah, kerana belum mendapatkan warid (anugerah) dari Allah. Namun kehadiran anugerah Allah tidak dapat mengikut kehendak hamba, melainkan semata-mata kerana kehendak-Nya. Seseorang yang berharap dan menunggu anugerah Allah, sayugianya melakukan kaifiat (tata cara) riyadhah dan mujahadah (ibadah dan berjuang) untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kerana itu, apapun usaha yang dilakukan seseorang untuk menyingkap hijab dengan mengamalkan zikir, mengendalikan nafsu, melaksanakan qiyamul lail (sholat malam) dan melakukan riyadhah mujahadah, semua itu tidak lepas dari minnah atau anugerah Allah. Sehingga semua amal ibadah yang dilakukan tetap dikembalikan kepada Allah. Sebaliknya, apabila amal ibadah tersebut disandarkan pada dirinya sendiri, malah menambahkan hijab. Maka apa pun yang dilakukan, hendaklah dipandang bahwa semua itu adalah warid (anugerah) dari Allah. Perlu dipertegas di sini, bahwa anugerah Allah tidak dapat dicari dengan usaha apapun, melainkan hanya bersandar kepada Allah semata.
Tersingkapnya hijab bagi hamba dalam memandang Allah, kerana telah mendapatkan percikan anwar ilahiyah (cahaya Allah). Ketika seseorang telah mendapatkan warid, maka hatinya senantiasa lega dan lapang dalam menghadapi apapun, termasuk sesuatu yang tidak sesuai dengan nafsunya.

Bimbingan Syekh Mursyid
Dengan demikian dapat disimpulkan bahawa untuk menyingkap hijab, yang paling utama adalah kemampuan mengendalikan nafsu, nafsu yang selalu mengajak ingkar kepada Allah, nafsu yang membenamkan seseorang pada kenikmatan hidup secara syahwati, nafsu yang memalingkan pandangan seseorang pada selain Allah. Di samping itu, juga harus menghilangkan prasangka. Kerana prasangka yang muncul dari akal fikiran, biasanya telah tercampur dengan adat kebiasaan yang berlaku di seputar kehidupannya.
Jika ingin menghilangkan prasangka tentang adanya sesuatu selain Allah, maka harus dapat menerapkan syuhud dengan benar. Tidak ada jalan lain, kecuali dengan sungguh-sungguh mempelajari dan memahami ilmu tauhid yang mukasyafah (terbuka).
Untuk mempelajari ilmu tauhid yang benar, harus mendapat bimbingan dari seorang mursyid, yaitu seorang pembimbing spiritual yang memiliki “mandat ruhaniah” untuk membimbing salikin menuju kepada-Nya. Adalah merupakan anugerah besar bagi seseorang yang telah dipertemukan dengan seorang pembimbing yang demikian, kerana hanya dengan petunjuk dan anugerah dari Allah sajalah seseorang bisa dipertemukan dengan mursyid.
Dalam Al Qur’an telah diisyaratkan bahwa bagi orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah maka akan dipertemukan dengan seorang guru yang mampu membimbing dalam wilayah ruhaniah, yaitu yang disebut Syekh Mursyid yang kamil mukamil (sempurna).
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang wali yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS Al Kahfi: 17).
Yang dimaksud wali dalam ayat di atas ialah pemimpin spiritual. Pemimpin tersebut adalah orang yang telah mencapai puncak spritual, mereka itulah yang dikenal dengan gelar Waliyullah atau Arifin billah. Para Waliyullah inilah yang memiliki mandat ruhaniah untuk menjadi mursyid (pembimbing) bagi para penempuh jalan menuju Allah.
Mursyid dalam erti pembimbing bagi orang yang menuju Allah, berbeza dengan ulama yang hanya sebatas memahami ilmu fikah belaka. Juga berbeza dengan para akademik dan pakar tasawuf yang biasanya hanya sebatas wacana, tidak mengenal apalagi menyelami wilayah ruhaniah yang sesungguhnya.
Dengan memperoleh bimbingan dari seorang syeikh mursyid yang kamil mukamil, seorang salik akan terbimbing dalam perjuangan menyingkap ribuan hijab yang menghalangi perjalanannya. Ketika hijab kegelapan telah tersingkap, maka cahaya ketuhanan (anwarul Ilahiyah) akan menerobos menerangi hati. Dan nyatalah rahsia-rahsia ketuhanan melalui penglihatan mata hati (bashiratul qalb).
***
Dikutip dari KASYAF Edisi 2, Majalah Kajian Tauhid dan Hakikat.
Saat ini sedang beredar KASYAF Edisi 5 yang mengangkat thema “HIJRAH