Jumat, 26 Juli 2013

Ajaran Tasawuf Syekh Muhammad Nafis Al Banjari


Ajaran tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjari (selanjutnya disebut Muhammad Nafis), dalam karya tulisanya Ad-Durun nafis, menimbulkan pendapat yang pro dan kontra di kalangan masyarakat muslim. Sehingga ajaran tasawuf itu sangat menarik kita ketengahkan dalam tulisan ini.
Berdasarkan pengakuan Muhammad Nafis sendiri, sebagaimana tersurat dalam karya tulisnya Ad-Durrum Nafis, dia menyatakan bahwa dalam bidang tasawuf dia adalah pengikut Junaid al-Baghdadi. Diketahui bahwa Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh sufi penganut aliran tasawuf Sunni, maka dengan demikian bisa diketahu bahwa Muhammad Nafis mengaku sebagai penganut aliran Tasawuf Sunni. Namun, jika diamati dari literatur (kitab) yang ia gunakan menulis karya tulisnya tersebut, dapat diketahu bahwa ajaran tasawufnya adalah memadukan antara lairan tasawuf Sunni dengan aliran tasawuf filosofis, karena dari literatur )kitab) yang ia gunakan tersebut ada yang beraliran tasawuf Sunni, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali dan al-Qusyairi, dan ada pula yang beraliran tasawuf filosofis, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh Ibn’Arabi dan al-Jili.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan, nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah bersifat infinit (tidak terbatas). Muhammad Nafis sama pendapatnya dengan Al-ghazali dan Ibn’arabi bahwa kunhi (hakikat) wujud Allah itu tidak bisa diketahui melalui akal dan panca indra dan dugaan. Kita hanya wajib mengetahui bahwa Allah itu ada, Esa dan Uluhiyah-Nya, tanpa pengetahuan tentang hakikatnya, karena hakikat dzat Tuhan itu mungkin dikenal oleh siapapun.
Muhammad Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya didalam Nur Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai manifestasi dan dzat Allah itu sendiri, maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu Tuhan itu sendiri, sedangkan selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud Allah. Mengenai penampilan diri Tuhan ini, nampaknya Muhammad Nafis, sama dengan teori Wahdatul wujud Ibn’Arabi dan Al-Jili.
Konsep muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama), dan Afal-Nya, karenanya, hubungan masing-masing sangatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’), dan perbuatan (Af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya, namun, semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing saling berhubungan. Adanya dzat sekaligus menunjukkan adanya sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan (af’al). Masalah ini menjadi inti dari ajaran muhammad Nafis mengenai tauhid (pengesaan) dalam memandang sifat, nama-nama (asma), perbuatan (af’al), dan dzat Allah Ta’ala sebagai proses upaya mendekatkan diri kepada Allah.
mengenai sifat Tuhan, Muhammad nafis mengatakan bahwa sifat itu adalah diri yang disifati, dan ia bukan merupakan tambahan pada dzat, dan bukan pula sesuatu yang melekat pada dzat. Dengan demikian, menurut dia, bahwa ALlah Mahakuasa denga dzatNya, maha mendengar dengan dzatnya, Maha melihat dengan dzatnya, dan maha berkata-kata dengan dzatnya, bukan dengan selain dzatnya.
muhammad Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-iradat, al-asma, al-bashr, dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia, yang dmikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama) Allah semata-mata Al-Quran menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Lebih jauh ia menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal, sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya. Allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah dikatakan bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan dirinya kepada makhluknya, maka itu berarti mereduksi (mengurangi) ke Mahakuasaan Allah. Dalam hal ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tetang sifat Tuhan tadi, nampaknya sama dengan pandangan aliran Mu’tazilah yang menafik sifat Allah. Tetapi, justru dia melontakan kritiknya terhadap aliran Mu’tazilah. Menurut dia walaupun pandangan aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat tidak lain adalah dzat Allah sendiri, dan tidak menanbah keberadaan dzat Allah, namun, menurutnya, pandangan aliran Mu’tazilah itu adalah bidah dan fisik, karena tidak wajar pandangan seperti itu diberikan kepada Allah Yang Mahatinggi.
Ajaran Muhammad Nafis tetang sifat dan asma’ (nama-nama), terlihat adanya kemiripan dengan pandapat Ibn’Arabi. Bagi Ibn’Arabi, asma’ (nama-nama) Tuhan itu adalah asensinya dalam suatu aspek atau aspek lain yang tidak terbatas ; ia adalah suatu “bentuk” terbatas dan pasti asensi Tuhan. Adapun sifat itu tidak lain adalah nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia ekternal ini.
Sebagaimana Muhammad Nafis yang hanya mengakui keberadaan asma’ (nama-nama) Tuhan, tidak mengakui keberadaan sifat-sifatnya, Ibn’Arabi juga meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksestensi dan wujud entitas didalam esensi Tuhan, sifat-sifat tersebut haruslah dipahami bahwa itu hanya metafor (semu) saja, bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi.
Tentang penciptaan, aliran Ahlus Sunnah, termasuk al-Ghazali menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam langsung dari tidak ada, Al-Farabi dan Ibn Sina alam diciptakan dengan cara emansi (pelimpahan). Sedangkan menurut Ibn Arabi alam ini ada melalui proses tajalliyat. Teori Ibn arabi ini mempengaruhi Al-Jili. kemudian teori ini dikembangkan oleh seorang sufi dari gujarat, Muhammad Ibn Fadullah ia kembangkan tori tajalli itu menjadi tujuh tahapan yang dikenal dengan istilah martabat tujuh. Berikutnya teori ini mempengaruhi dua tokoh sufi di Aceh, Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin Pasai. Ajaran ini nampak sekali menunjukkan ajaran tasawuf wahdatul wujud.
Muhammad Nafis tentang penciptaan ini nampak sekali dia terpengaruh oleh teori martabat tujuh tersebut. Hal ini tergambar pada pendapatnya yang menyatakan bahwa penampilan dzat itu melalui tujuh martabat dari hadrat al-Sarij, yaitu hadrat dzat semata-mata. Menurut dia, penampilan dzat ialah dzat-Nya menjelma tirun berjenjang yang disebutnya dengan martabat tajalli dan tanzil. Dalam teori ini nampaknya dia memandang segala ciptaan itu adalah bayangan diri yang maha Mutlak (Allah), jadi benar-benar wujud hanya satu, yaitu Allah semata.
Menurut Muhammad nafis, Nur Muhammad itu adalah awal dari segala kejadian. Kalau dibandingkan dengan teori kejadian dikalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang menyatakan bahwa awal kejadian adalah akal pertama, maka jelas sekali persamaan kedua teori ini dalam prinsif. Namun, dari sisi fungsinya jauh berbeda.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah al-Insanul Kamil, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf ibn arabi dan Al-Jilli. Mereka mengaitkan ajarannya tentang manusia dengan ajaran tentang Tuhan dan penciptaan.
Manusia menurut dia adalah mikrokosmus karena padanya tercermin dengan sempurna segala nama-nama ketuhanan dan hakikat-hakikat yang lahir pada alam raya. Manusia disebut Al-Insanul Kamil, karena manusia yang hanya mampu mengaktualisasikan atribut-atribut Tuhan secara sempurna. Dan Al-Insanul Kamil menurut mereka adalah orang-orang yang mampu mencapai peringkat ma’rifat, sehingga terhimpun pada dirinya sifat jala (kemuliaan) dan sifat jamal (keindahan).
Menurut Muhammad Nafis, bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dia harus berpandangan bahwa alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada, yang ada hanya wujud Allah. Wujud Allah meliputi segala sesuatu. Allah tidak ada persamaannya dengan sesuatu. Tidak ada maujud pada hakikatnya hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’ segala nama hamba pada nama Allah, fana’ pula segala sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah. Segala apapun yang ada pada makhluk ini fana’ dan (dugaan) semata. Apabila dia melakukan pandangan seperti ini, pada saatnya dia akan merasa fana’ dalam lautan ahadiyah wujud Allah, yang tidak ada tandingannya. Pada saat itu tidak terlihat olehnya amal dirinya, tidak dirasakannya bahwa dirinya sendiri yang dapat mencapai peringkat ini, tidak pula diketahuinya wujud mutlak. Perasaannya berkelana tanpa disadarinya karena hanyut bersama Nur Ilahi yang dipandangnya.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Muhammad Nafis, seseorang harus melalui beberapa peringkat sebagai berikut :
Pada peringkat pertama dia harus berpandangan tawhidul afal, yaitu memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah, sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaimana sirnanya cahaya lampu didalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Muhammad Nafis tentang perbuatan ini sama dengan pendapat Ibn’Arabi.
Pada peringkat ini, seseorang sufi sudah mampu memfanakan perbuatannya didalam perbuatan allah yang maha hebat. Dengan dicapainya peringkat tawhidul af’al ini, sufi akan memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya mendekati tujuan yang didambakannya.
Peringkat kedua untuk mendekatkan diri kepada Allah menurut Muhammad nafis adalah orang mampu berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya, maka hakikat nampun hanya nama Allah, karena semua nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Cara pandang pada peringkat tawhidul asma’ ini adalah memandang semua nama yang banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah. dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.