Sabtu, 27 Juli 2013

Qurban dan ‘Aqiqah


 
 
Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa udhiyyah (penyembelihan hewan qurban) disyariatkan dalam Islam. Namun mereka berbeda pendapat apakah qurban itu hukumnya wajib ataukah sunnah. Menurut Maliki, Syafi’i, Hambali dan para ulama pengikut Hanafi: qurban hukumnya sunnah mu’akkadah. Hanafi berpendapat: hukumnya adalah wajib atas penduduk kota-kota besar, yaitu orang-orang yang sudah mempunyai harta satu nisab.
Menurut pendapat Syafi’i, waktu penyembelihan hewan qurban adalah sejak terbit matahari dari hari nahar (idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari raya dan dua khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum. Sedangkan menurut Hanafi, Maliki dan Hambali: di antara syarat-syarat sahnya menyembelih qurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah. Namun, menurut Hanafi: penduduk kampung sudah boleh berqurban sesudah matahari terbit fajar kedua.
‘Atha’ berpendapat: masuknya waktu berqurban adalah dengan terbitnya matahari pada Idul Adha. Akhir waktu bolehnya menyembelih qurban adalah hari tasyriq terakhir. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Sedangkan Hanafi dan Maliki mengatakan: akhir waktu menyembelih qurban adalah hari tasyriq kedua.
Sa’id dan Jubair berpendapat: dibolehkannya penduduk kota besar menyembelih qurban hanya pada Idul Adha. Sedangkan bagi penduduk dusun diperbolehkan hingga akhir hari tasyriq.
Ibn Sirin berpendapat: tidak boleh menyembelih qurban kecuali pada siang hari raya.
An-Nakha’i membolehkan menyembelih binatang qurban sampai pada akhir bulan Dzulhijjah.
Apabila qurban itu adalah qurban wajib, maka tidak gugur karena berlalunya hari-hari tasyriq. Tetapi hewan itu harus disembelih dan dipadang sebagai qadla. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat: kewajiban menyembelihnya menjadi gugur, sedangkan hewan qurbannya hendaknya diserahkan kepada fakir miskin.
Orang yang bermaksud menyembelih qurban, sedangkan waktunya telah masuk tanggal 10 Dzulhijjah, maka dimustahabkan tidak mencukur bulunya dan memotong kukunya hingga hewan itu disembelih. Jika hal itu dilakukan juga, maka makruh hukumnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Maliki. Hanafi berpendapat: hal demikan boleh saja, tidak dimakruhkan dan tidak pula disunnahkan. Apapun menurut pendapat Hambali, hal demikian diharamkan.
Apabila seseorang sudah menetapkan akan menyembelih seekor qurban yang sudah dipastikan terhindar dari segala cacat, maka jika ditemukan cacat, tetap dibolehkan menyembelihnya. Demikian menurut tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat: ia tidak boleh menyembelihnya untuk qurban.
Hewan qurban yang sakit (cacat) tidak menghalangi bolehnya menjadi qurban. Tetapi jika cacatnya besar, maka tidak dibolehkan. Hewan tua yang sudah tidak baik dagingnya, tidak sah dijadikan qurban. Juga, hewan yang kudisan tidak boleh dijadikan qurban, karena telah merusakkan dagingnya. Hewan yang buta dan cacat matanya tidak boleh dijadikan qurban. Demikian menurut kesepakatan para Imam madzhab.
Sebagian ulama azh-Zhahiriyyah berpendapat: boleh, yaitu binatang yang cacat matanya tidak terhalang untuk dijadikan qurban.
Binatang yang tanduknya patah adalah makruh dipakai sebagai qurban. Hambali berpendapat: tidak sah qurban dengan hewan yang patah tandukny.
Tidak sah berqurban dengan hewan yang pincang. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi berpendapat: sah.
Menurut kesepakatan para ulama, binatang yang terpotong telinganya tidak sah dipakai untuk qurban. Demikian pula binatang yang terpotong ekornya, karena hilangnya sebagian dagingnya. Jika ekor tersebut hanya sedikit saja terpotong, maka menurut Syafi’i yang paling kuat: tidak boleh. Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama Syafi’i kemudian : boleh. Hanafi dan Maliki berpendapat: jika sedikit saja yang hilangnya maka boleh, sedangkan jika banyak maka tidak boleh. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, di antaranya adalah tidak boleh jika yang terpotong lebih dari sepertiganya.
Boleh menyuruh orang lain untuk menyembelih qurbannya, meskipun orang itu seorang dzimmi, walaupun menurut tiga imam madzhab hukumya adalah makruh. Maliki: tidak boleh diwakilkan kepada orang dzimmi, dan hal itu tidak akan menjadi qurban.
Apabila seseorang membeli kambing dengan niat untuk dijadikan qurban, maka hewan tersebut tidak sah menjadi qurban. Demikian menurut tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat: tetap sah sebagai qurban.
Ketika menyembelih binatang qurban dan lainnya, disunnahkan menyebut nama Allah swt. jika ditinggalkan dengan sengaja, maka tidak boleh memakan dagingnya. Sedangkan jika lupa, maka boleh. Demikian menurut Hanafi. Menurut salah satu pendapat Maliki: jika ditinggalkan dengan sengaja maka tidak boleh dimakan dagingnya. Sedangkan menurut riwayat lain, Maliki berpendapat: halal secara mutlak, baik ditinggalkan sengaja maupun tidak.
Al-Qadhi’ Abdul Wahab al-Maliki mengatakan: “Para ulama pengikut Maliki berpendapat bahwa jika basmalah ditinggalkan dengan sengaja maka tidak boleh dimakan sembelihannya. Tetapi di antara para ulama Maliki ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah hanyalah sunnah. Syafi’i berpendapat: baik ditinggalkan dengan sengaja maupun tidak, maka tidaklah memberi pengaruh apapun. Hambli berpendapat: jika basmalah sengaja ditinggalkan maka tidak boleh dimakan sembelihannya. Sedangkan jika tidak disengaja, dalam hal ini ia mempunyai dua riwayat, dan salah satunya: boleh dimakan.
Menurut Syafi’i: ketika menyembelih, dimustahabkan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad sa. Hambali berpendpat: hal itu tidak disyariatkan.
Disunnahkan membaca: “AllaaHumma Haadzaa minka wa laka fataqabbal minnii (Ya Allah, sesungguhnya ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu, maka terimalah persembahanku ini).”
Hanafi berpendapat: hal demikian itu dimakruhkan.
Apabila qurban tersebut merupakan qurban sunnah maka tidak dimustahabkan ikut memakan sebagian dagingnya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Bahkan ada sebagain ulama yang berpendapat wajib memakan sebagiannya. Yang lebih utama menurut qaul jadid Syafi’i adalah sepertiganya dimakan, serpertiganya dihadiahkan, dan sepertiga sisanya disedekahkan. Sebagian ulama berpendapat: yang lebih baik adalah disedekahkan semuanya, kecuali beberapa suap untuk mengambil berkah.
Adapun dalam qurban nadzar tidak boleh memakan dagingnya sedikitpun, demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Tidak boleh menjual daging dan kulit binatang qurban dan hadiah, baik yang wajib (nadzar) maupun yang sunnah. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. An-Nakha’i dan al-Awza’i mengatakan: boleh menjualnya untuk dibelikan perkakas rumah, seperti kapak, belanga, timbangan dan sebagainya. Hanafi berpendapat seperti itu. ‘Atha’ berpendapat: tidak apa-apa menjual kulit binatang qurban atau hadiah, baik dengan uang maupun dengan lainnya.
Binatang yang lebih utama untuk qurban adalah unta, lalu sapi kemudian kambing. Maliki berpendapat: yang lebih utama adalah kambing, lalu unta, lalu sapi.
Seekor unta cukup untuk tujuh orang, demikian juga sapi. Sedangkan kambing hanya untuk satu orang. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Ishaq bin Rahawaih berpendapat: satu sapi untuk sepuluh orang.
Dibolehkan berserikat tujuh orang untuk menyembelih seekor unta, baik satu keluarga maupun bukan. Maliki: jika qurbannya sunnah dan satu keluarga, dibolehkan.
Menurut Maliki dan Syafi’i, ‘aqiqah itu disyaratkan. Hanafi: ‘aqiqah dibolehkan, dan saya tidak berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah. Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama yang masyhur yaitu disunnahkan. Kedua, yang dipilih oleh sebagian ulama pengikutya: wajib hukumnya. Menurut pendapat al-Hasan dan Dawud, ‘aqiqah adalah wajib.
Aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing. Sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing. Maliki berpendapat: untuk anak laki-laki atau anak perempuan ‘aqiqahnya sama saja, yaitu seekor kambing.
Aqiqah tersebut disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran anak. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Menurut kesepakatan para imam madzhab, tidak disunnahkan menyapu atau mengusap kepala anak yang baru dilahirkan tersebut dengan darah sembelihan ‘aqiqah. Al-Hasan berpendapat: disukai menyapu kepala si bayi dengan darah sembelihan ‘aqiqah.
Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali, disunnahkan tulang-tulang ‘aqiqah tidak dipotong-potong, sebagai lambang meminta keselamatan bagi bayi yang baru lahir tersebut.
Sekian.

Kewajiban karena Melanggar Larangan Ihram

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa kafarah bagi orang yang mencukur rambut boleh dipilih, yakni menyembelih seekor kambing, memberi makan enam orang miskin atau berpuasa tiga hari.
Mereka berpendapat tentang kadar mencukur yang dikenai fidyah. Hanafi: seperempat kepala. Maliki: mencukur sekadar tempat untuk menghilangkan sakit yang ada di kepala. Syafi’i: tiga helai rambut. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama, tiga helai rambut, kedua seperempat kepala.
Apabila seseorang yang berihram mencukur separuh rambut kepala pada pagi hari dan separuh kepala pada petang hari maka ia wajib membayar dua kali kafarah. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Namun Hambali tidak menetapkan hukum yang sama dalam hal memakai wangi-wangian dan pakaian. Hanafi berpendapat: apabila larangan-larangan itu bukan berupa membunuh binatang buruan dalam satu majelis, maka wajib membayar kafarah sekali saja, baik telah dibayar kafarah pertama maupun tidak. Sedangkan jika di dalam beberapa majelis, maka pada tiap majelis diwajibkan membayar kafarah, kecuali jika terulang-ulangnya karena satu sebab, seperti sakit.
Pendapat Maliki sama dengan pendapat Hanafi tentang binatang buruan dan sama dengan pendapat Syafi’i mengenai selain binatang buruan.
Apabila orang yang berihram untuk haji atau untuk umrah bersetubuh dengan istrinya sebelum tahallul awal, maka ibadahnya rusak, dan ia diwajibkan mengqadla dengan segera di tempat ia telah berihram untuk menunaikan hajinya dahulu. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab. Syafi’i dan Hambali mengatakan: ia wajib menyembelih seekor unta. Hanafi: apabila persetubuhan dilakukan sebelum wukuf, maka hajinya rusak dan ia wajib menyembelih satu ekor kambing. Sedangkan jika persetubuhan dilakukan sesudah wukuf, maka hajinya tidak rusak, tetapi ia wajib menyembelih satu ekor unta.
Adapun lahiriyah pendapat madzhab Maliki adalah seperti pendapat Syafi’i.
Akad ihram tidak rusak dengan bersenang-senang pada dua keadaan. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Dawud berpendapat: hilang akadnya.
Apakah keduanya wajib dipisahkan pada tempat bersetubuh? Menurut lahiriyah pendapat madzhab Hanafi dan Syafi’i: hal demikian disunnahkan untuk dipisahkan. Sedangkan menurut pendapat Maliki dan Hambali adalah wajib dipisahkan.
Apabila orang yang berihram bersetubuh dengan istrinya kemudian menyetubuhi lagi dengan memberi kafarah yang pertama, maka ia harus memberi kafarah seekor kambing, baik ia sudah memberi kafarah yang pertama maupun belum, kecuali jika mengulang persetubuhan itu dalamm satu majelis. Demikian menurut pendapat Hanafi. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak dikenai kewajiban apapun pada persetubuhan kedua. Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini. Pertama, wajib dua kafarah. Mengenai kafarah kedua, ada yang mengatakan seekor unta sebagaimana kafarah pertama, dan ada pula yang berpendapat seekor kambing. Kedua, wajib atau kafarah saja. inilah pendapat Syafi’i yang paling shahih. Hambali berpendapat: jika kafarah pertama telah dibayar, maka kafarah kedua adalah seekor unta.
Apabila orang yang berihram mencium dengan syahwat atau menyetubuhi istrinya tidak pada kemaluannya lalu keluar mani, maka hajinya tidak menjadi rusak, tetapi ia wajib menyembelih seekor unta. Demikian menurut Syafi’i. Maliki berpendapat: hajinya rusak, dan ia wajib menyembelih seekor unta dan mengqadla.
Menurut Maliki dan Syafi’i, apabila orang yang berihram membunuh binatang buruan yang ada penggantinya, seperti binatang ternak, maka ia diwajibkan membayar dengan yang seperti itu. Hanafi berpendapat: tidak wajib, tetapi cukup dibayar harganya saja.
Boleh membeli binatang hadiah di tanah Haram dan boleh juga menyembelihnya di sana. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Maliki berpendapat: binatang hadiah tersebut harus dituntun dari tanah halal menuju tanah Haram.
Apabila sekelompok orang bersekutu dalam membunuh binatang buruan, maka mereka diwajibkan membayar seekor saja. demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat: bagi masing-masing dari mereka wajib satu tebusan dengan sempurna.
Burung merpati dan burung-burung yang disamakan dengannya, jaminannya adalah seekor kambing. Demikian menurut tiga imam madzhab. Maliki berpendapat: buruan merpati Makkah dijamin dengan harganya. Dawud berpendapat: tidak ada tebusan pemburu burung merpati.
Apabila orang yang berihram membunuh binatang lain lagi maka ia diwajibkan membayar dua tebusan. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Dawud berpendapat: tidak ada kewajiban apapun bagi yang kedua.
Orang yang mengerjakan haji qiran diwajibkan membayar kafarah sebagaimana orang yang mengerjakan haji ifrad. Hanafi berpendapat: wajib dua kafarah atas orang yang melaksanakan haji qiran dan dua tebusan jika membunuh seekor binatang buruan. Sedangkan jika ia merusakkan ihramnya, wajiblah baginya mengqadlanya secara qiran pula, memberi kafarah, dam qiran serta dam qadla. Pendapat Hambali seperti pendapatnya Hanafi tersebut.
Orang yang tidak berihram apabila membawa binatang buruan dari daerah halal ke daerah haram, maka ia boleh menyembelihnya dan berbuat sekehendaknya terhadap sembelihannya. Hanafi berpendapat: tidak boleh. Menurut kesepakatan para imam madzhab, orang yang berihram dilarang memotong pohon yang ada di tanah Haram. Pohon yang dipotong wajib dijamin dengan tebusan, yaitu seekor sapi, untuk satu pohon besar, dan seekor kambing untuk satu pohon kecil. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Menurut Maliki: tidak dikenai jaminan, tetapi ia telah berbuat salah dengan perbuatannya. Hanafi: jika ia memotong pohon yang ditanam oleh manusia, maka tidak dikenai tebusan. Sedangkan jika ia memotong pohon yang tumbuh sendiri secara liar, maka ia dikenai tebusan.
Orang yang berihram dilarang memotong rumput tanah Haram, yang bukan untuk obat dan umpan binatang. Demikian menurut kesepakatan. Menurut tiga imam madzhab, boleh memotongnya untuk obat atau umpan binatang. Hanafi berpendapat: tidak boleh.
Membunuh binatang buruan di tanah Madinah, bagi orang yang berihram diharamkan, demikian juga memotong pepohonannya. Apakah yang demikian dikenakan jaminan juga? Dalam masalah ini Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, dalam qaul jadid dan yang paling kuat adalah tidak dikenakan jaminan. Demikian juga pendapat madzhab Hanafi. Kedua, dalam qaul qadhim dan yang dipilih: dikenai jaminan, sebab membunuh binatang buruan dan memotong pepohonannya. Begitu pula pendapat madzhab Maliki dan Hambali.
Dam yang wajib untuk ihram, seperti tamattu’ serta qiran, memakai wewangian, memakai pakaian yang berjahit (bagi laki-laki), membunuh binatang buruan, disembelih di daerah Haram dan diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di sana. Maliki berpendapat: Dam yang wajib untuk ihram tidak tertentu di daerah Haram saja.
Sekian.

Ihram dan Larangan-larangannya

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Memakai wangi-wangian di badan untuk ihram adalah mustahab. Demikian menurut tiga imam madzhab. Maliki berpendapat: tidak boleh memakai wangi-wangian yang tahan lama. Jika ia memakainya, maka wajib dibasuh.
Para imam madzhab sepakat bahwa memakai wangi-wangian pada pakaian hukumnya adalah makruh.
Diutamakan berihram sesudah shalat dua rakaat ihram. Inilah pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i yang disetujui oleh imam-imam yang lain. Sedangkan menurut Syafi’i: hendaknya seseorang berihram setelah kendaraannya bergerak ketika ia berkendaraan, atau setelah perjalanannya dimulai kembali kalau ia berjalan kaki.
Syafi’i dan Hambali berpendapat: ketika berihram, hendaknya disertai niat. Jika ia hanya bertalbiyah tanpa niat, ihramnya tidak sah. Dawud berpendapat: sah dengan bertalbiyah saja. hanafi berpendapat: ihram tidak sah kecuali disertai dengan niat dan talbiyah, atau dengan menuntun binatang hadiah yang disertai niat.
Mengucapkan talbiyah hukumnya wajib. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Namun Hanafi berpendapat: kalau ia menuntun binatang hadiah dan berniat ihram, maka ia dihukumi sebagai orang yang berihram, meskipun tidak membaca talbiyah. Kalau ia tidak menuntun hadiah, sudah tentu diharuskan bertalbiyah. Maliki berpendapat: talbiyah itu kewajiban mutlak, baik menuntun hadiah maupun tidak, jika ditinggalkan, ia wajib membayar dam. Syafi’i dan Hambali berpendapat: talbiyah itu hukumnya adalah sunnah.
Mengucapkan talbiyah dihentikan ketika melempar jumrah Aqabah. Demikian menurut tiga imam madzhab. Maliki berpendapat: talbiyah dihentikan sesudah tergelincir matahari pada hari ‘Arafah.
Para imam madzhab sepakat bahwa laki-laki yang berihram diharamkan memakai pakaian yang berjahit, menutup kepala, memakai pakaian yang menutup seluruh badan seperti baju gamis, kemeja, celana panjang, kopiah atau topi, quba’, dan sepatu. Demikian juga pakaian yang ditenun seperti surban. Diharamkan pula bersetubuh, mencium, memegang istri dengan syahwat, kawin, mengawinkan, membunuh binatang buruan, menggunakan wangi-wangian, mencukur rambut, memotong kuku, meminyaki rambut kepala dan janggut.
Semua yang diharamkan bagi laki-laki berlaku pula bagi perempuan, kecuali memakai pakaian yang berjahit dan penutup kepala. Perempuan diharamkan menutup wajah, karena ihram perempuan adalah dalam keadaan terbuka wajahnya.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang apakah orang yang sedang berihram boleh berpayung dengan menggunakan sesuatu yang menyentuh kepala. Hanafi dan Syafi’i: boleh. Hambali dan Maliki: tidak boleh. Maliki juga berpendapat: wajib atasnya fidyah jika melakukan demikian. Begitu juga menurut madzhab Hambali yang paling shahih.
Orang yang memakai quba’ (mantel) ketika berihram pada kedua bahunya dan tidak memasukkan kedua tangannya ke dalam dengan mantel, wajib atasnya membayar fidyah. Demikian menurut tiga imam madzhab. Hanafi: tidak wajib atasnya fidyah.
Orang yang tidak mempunyai kain boleh memakai celana dan tidak dikenakan fidyah, demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki: wajib atasnya membayar fidyah.
Orang yang tidak memiliki sandal, boleh memakai sepatu yang dipotong bagian mata kakinya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Namun Hanafi mewajibkan membayar fidyah. Hambali: tidak boleh menggunakannya jika tidak dipotong atasnya.
Tidak diharamkan laki-laki menutup wajahnya, demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki: haram berbuat demikian.
Memakai wangi-wangian pada pakaian dan pada badan hukumnya haram. Hanafi: boleh meletakkan kasturi pada pakaian, bukan pada badan, dan boleh pula bedupa dengan kayu gaharu dan cendana. Hanafi juga berpendapat: boleh meletakkan wangi-wangian pada makanan, dan jika dimakan tidak dikenakan fidyah, meskipun nyata baunya. Pendapat ini disepakati oleh Maliki. Hanafi juga mengatakan: tidak diharamkan atas orang yang berihram memakai bunga-bungaan. Ini tidaklah termasuk wangi-wangian. Demikian menurut tiga imam madzhab. Sedangkan menurut Hanafi: ini adalah wewangian. Orang yang menggunakannya dalam ihram wajib membayar fidyah.
Diharamkan bagi orang yang berihram memakai minyak wangi, seperti minyak mawar dan bunga pohon yang harum baunya, dan diwajibkan membayar fidyah bagi yang melanggarnya.
Adapun menggunakan minyak yang tidak wangi, seperti syairaj, tidak diharamkan kecuali digunakan pada kepala dan janggut. Hanafi berpendapat: syairaj termasuk wewangian yang tidak boleh dipakai di seluruh badan. Maliki: syairaj tidak boleh digunakan untuk meminyaki anggota badan yang tampak, seperti muka, dua tangan dan dua kaki, tetapi boleh dipakai pada anggota badan bagian dalam. Al-Hasan bin Shalih bependapat: boleh dipakai pada seluruh badan, kepala dan janggut.
Orang yang sedang berihram tidak boleh melakukan akan nikah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, juga tidak boleh mewakilkannya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Jika seseorang melakukan hal tersebut, tidak sah akadnya. Demikian menurut tiga imam madzhab. Hanafi: sah.
Merujuk istri bagi orang yang berihram dibolehkan menurut tiga imam madzhab. Menurut Hambali: tidak boleh.
Apabila orang yang berihram membunuh binatang buruan tanpa sengaja, maka ia wajib membahyar tebusan. Jika binatang tersebut ada yang memilikinya, maka ia wajib membayar nilai harganya kepada pemiliknya. Maliki dan Hambali berpendapat: tidak wajib membayar tebusan karena membunuh binatang yang ada pemiliknya. Dawud berpendapat: tidak wajib membayar tebusan karena membunuh binatang buruan tanpa sengaja.
Menurut pendapat Maliki dan Syafi’i: diharamkan membantu membunuh binatang buruan, meskipun sekadar menunjukkan, tetapi tidak wajib membayar tebusan. Hanafi: masing-masing membayar tebusan yang sempurna. Bahkan, Hanafi menyatakan bahwa jika sekelompok orang yang berihram menunjukkan kepada orang lain yang tidak sedang berihram di dalam al-Haram untuk membunuh binatang buruan, maka diwajibkan atas masing-masing mereka membayar tebusan yang sempurna.
Orang yang berihram diharamkan memakan daging binatang yang diburu. Namun Hanafi berpendapat tidak haram.
Apabila ia menanggung binatang buruan, lalu ia memakannya, maka ia tidak wajib membayar tebusan. Hanafi berpendapat: wajib membayar tebusan.
Binatang buruan yang tidak halal dimakan dagingnya dan tidak dilahirkan dari binatang yang tidak hahal dagingnya, maka bagi orang yang berihram tidak diharamkan membunuhnya.
Hanafi:lantaran ihram itu, seseorang dilarang membunuh segala binatang liar. Jika ia tetap membunuh segala binatang liar, maka diwajibkan membayar tebusan kecuali membunuh beruang.
Orang yang berihram jika ia memakai wewangian atau minyak karena lupa atau tidak mengerti tentang keharaman menggunakannya, maka ia tidak diwajibkan membayar kafarah. Demikian menurut Syafi’i. Hanafi dan Maliki berpendapat wajib.
Jika orang yang berihram memakai baju kurung karena lupa, lalu teringat, hendaknya ditanggalkannya dari arah kepala. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab. Sebagian ulama madzhab mengatakan: hendaknya baju tersebut dibelah.
Jika orang yang berihram mencukur rambutnya atau memotong kukunya karena lupa atau tidak mengetahui keharamannya, maka ia tidak dikenai fidyah, kecuali menurut Syafi’i yang paling kuat adalah wajib fidyah.
Para imam madzhab sepakat bahwa apabila seseorang yang berihram membunuh binatang buruan karena lupa atau tidak mengetahui hukum keharamannya, maka ia wajib membayar fidyah.
Apabila seseorang yang berihram bersetubuh dengan istrinya karena lupa atau karena tidak tahu hukumnya, maka ia wajib membayar kafarah dan rusak hajinya, kecuali menurut pendapat Syafi’i yang dipandang paling kuat, yaitu tidak wajib kafarah dan tidak rusak hajinya.
Menurut pendapat tiga imam madzhab, orang yang sedang berihram diperbolehkkan mencukur rambut orang yang tidak sedang berihram. Begitu juga memotong kukunya dan tidak dikenai kewajiban apa-apa. Hanafi berpendapat: tidak boleh, dan ia harus mengeluarkan sedekah.
Orang yang sedang berihram diperbolehkan mandi dengan daun bidara. Hanafi: tidak boleh, dan wajib membayar fidyah.
Apabila orang yang sedang berihram pada badannya terdapat kotoran, maka dibolehkan untuk menghilangkannya. Maliki berpendapat: ia wajib membayar sedekah.
Orang yang berihram dimakruhkan memnggunakan celak mata. Ibn al-Musayyab berpendapat: tidak boleh.
Tidaklah dikenakan kewajiban apa pun orang yang berihram yang mengeluarkan darah atau berbekam. Maliki berpendapat: harus memberi sedekah.
Sekian.

Orang Berhaji yang Terkepung Musuh

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Orang yang berhaji yang terkepung musuh sehingga ia tidak bisa melaksanakan wukuf, thawaf, atau sa’i tetapi memperoleh jalan lain yang dapat dilaluinya untuk wukuf, thawaf dan sa’i, maka ia wajib melalui jalan itu, baik jauh maupun dekat. Ia tidak bertahallul. Apabila menurut perkiraannya, melalui jalan tersebut dapat mengakibatkan hajinya tertinggal, tetapi tidak ada jalan lain, maka ia diperbolehkan bertahallul dari ihramnya dengan amalan umrah.
Hanafi berpendapat: jika ia terkepung dan tidak dapat berwukuf dan bermalam di Muzdalifah maka ia bertahallul. Sedangkan kalau dari salah satunya saja, tidak dibolehkan bertahallul.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. bahwa tidak berahallul jika musuh itu bukan orang-orang kafir.
Bertahallul sudah cukup dengan berniat mencukur dan menyembelih. Hanafi berpendapat: menyembelih harus di dalam tanah Haram. Oleh karena itu, hendaklah ia bermufakat dengan seseorang untuk menyembelih di dalam Haram, lalau ia bertahallul pada waktu penyembelihan itu. Maliki berpendapat: ia bertahallul dan tidak dikenai kewajiban apapun.
Apabila ia bertahallul, sedangkan haji yang dikerjakannya adalah haji wajib, apakah wajib diqadla hajinya? Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling kuat adalah wajib diqadla. Sedangkan pendapat yang masyhur dari Hanafi, Maliki dan Hambali adalah tidak diqadla.
Diriwayatkan bahwa Maliki berpendapat: apabila dikepung, tidak dibenarkan ia masuk ke Makkah untuk mengerjakan haji fardlu sesudah ihram, maka ia terlepas dari mengerjakan haji itu.
Tidak ada qadla bagi orang yang berhaji sunnah. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedang Hanafi berpendapat: wajib qadla, baik hajinya itu fardlu maupun sunnah. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua imam madzhab tersebut.
Apabila seseorang tidak dapat memasuki Makkah karena sakit, jika ia mensyaratkan bertahallul karena sakit, sedagnkan hajinya adalah haji sunnah, maka ia boleh bertahallul lantaran sakitnya tersebut. Demikian pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i. Maliki dan Hambali mengatakan: tidak dibolehkan bertahallul dengan sebab sakit. Hanafi: boleh bertahallul secara mutlak.
Apabila seorang budak berihram tidak seizin tuannya, maka ihramnya sah, dan ia wajib bertahallul. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Para ulama madzhab azh-Zhahiriyyah mengatakan: ihramnya tidak sah.
Budak wanita sama dengan budak laki-laki. Kalau ia bersuami diwajibkan juga minta izin kepada suaminya serta izin tuannya. Muhammad bin al-Hasan berpendapat: tidak diperlukan izin suaminya.
Perempuan diperbolehkan berihram untuk haji meskipun tidak mendapat izin dari suaminya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan pendapat Syafi’i yang paling shahih adalah bahwa perempuan tidak diperkenankan berihram untuk haji tanpa ada izin dari suaminya.
Apakah suami boleh menyuruh istrinya bertahallul? Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling kuat menurut ar-Raafi’ adalah dibolehkan suami menyuruh istrinya bertahallul dari haji fardlu. Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak boleh suami menaksa istrinya bertahallul. Demikian juga yang dijelaskan oleh al-Qadhi Abdul Wahab al-Maliki.
Suami boleh mencegah itrinya berhaji sunnah dan boleh menyuruhnya bertahallul darinya. Demikian menurut Syafi’i.
Sekian.

Sifat-sifat Haji

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Orang yang datang ke Makkah bukan untuk beribadah haji, tetapi untuk berziarah atau berdagang, apakah ia diwajibkan ihram untuk haji atau ihram untuk umrah, ataukah hanya disunnahkan? Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini. Pertama, yang paling shahih adalah disunnahkan. Kedua, wajib berihram untuk haji atau untuk umrah, kecuali jika kedatangannya sudah berulang kali. Hanafi: orang yang berada di luar miqat tidak diperbolehkan masuk tanah Haram kecuali dengan berihram. Adapun orang yang berada di dalam miqat boleh masuk tanpa berihram. Ibn Abbas berpendapat: tidak dibolehkan seseorang masuk tanah Haram kecuali dengan berihram.
Orang yang memasuki tanah Haram boleh memilih antara masuk waktu malam hari atau siang hari. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. An-Nakha’i dan Ishaq mengatakan: masuk pada malam hari adalah lebih utama.
Disunnahkan berdoa ketika melihat melihat Baitullah dengan doa-doa yang ma’tsur (dari Rasulullah saw.). menurut Maliki, dirinya tidak mengetahui yang demikian pada perbuatan Rasulullah saw.
Menurut pendapat tiga imam madzhab, thawaf qudum (thawaf selamat datang) hukumnya adalah sunnah. Maliki berpendapat: jika thawaf qudum ditinggalkan, padahal ia mampu mengerjakannya, maka ia dikenakan dam.
Di antara syarat-syarat thawaf adalah bersuci dan menutup aurat. Demikian menurut tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat: bukan syarat sahnya.
Tertib dalam thawaf adalah wajib. Demikian menurut tiga imam madzhab. Hanafi: thawaf tanpa tertib hukumnya tetap sah, tetapi harus diulang jika ia masih berada di Makkah. Sedangkan jika sudah keluar Makkah, ia harus membayar dam. Dawud berpendapat: jika ia lupa melakukan thawaf dengan tertib, maka thawafnya tetap sah, dan ia tidak dikenakan dam.
Mencium Hajar Aswad dan sujud atasnya adalah sunnah, karena bersujud atasnya berarti menciumnya, bahkan lebih. Maliki: sujud atasnya adalah bid’ah.
Rukun Yamani disentuh serta dicium. Menurut pendapat Syafi’i, tidak berlu dicium, dan menurut Hanafi tidak perlu disentuh. Maliki: rukun Yamani disentuh, tetapi tangan tidak usah dicium (setelah menyentuhnya), hanya diletakkan di mulutnya.
Diriwayatkan dari al-Khirqi bahwa Hambali menciumnya.
Adapun rukun Yamani yang dua, yang ada di sisi Hajar Aswad, tidak perlu disentuh dengan kedua tangan.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. Ibn zubair ra, dan Jabir ra. bahwa mereka semua menyentuh kedua rukun tersebut.
Menurut pendapat tiga imam madzhab, disunnahkan berjalan cepat ketika thwaf dengan meletakkan kain yang ada di pinggang di bawah ketiak kanan, sedangkan kedua ujungnya diletakkan di atas bahu kiri dari arah dada dan punggung. Maliki berpendapat: perbuatan demikian tidak pernah diketahui dilakukan oleh seorang ulama pun.
Apabila tidak berjalan cepat dan menjadikan kain sedemikian rupa, maka tidaklah apa-apa. Demikian menurut kesepakatan imam madzhab. Al-Hasan al-Bashri, ats-Tsawri, dan Ibn al-Majisyun berpendapat: wajib atas orang yang tidak berbuat demikian membayar dam.
Membaca dzikir ketika sedang thawaf adalah mustahab. Demikian menurut pendapat jumhur ulama. Tetapi Maliki memakruhkannya.
Para imam madzhab menyatakan bahwa dalam melakukan thawaf wajib bersuci. Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa orang yang sedang berthawaf, lalu berhadats, hendaknya ia berwudlu, kemudian melanjutkan thawafnya. Tetapi dalam hal ini Syafi’i mempunyai pendapat lain, yaitu harus memulainya lagi.
Menurut Hanafi dan Syafi’i bahwa shalat dua rakaat thawaf itu hukumnya adalah wajib. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali, dua rakaat itu hukumnya hanyalah sunnah. Pendapat Maliki dan Hambali ini sama dengan pendapat yang paling kuat menurut madzhab Syafi’i.
Sa’i merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun haji dan Sa’i merupakan kewajiban yang dapat diganti dengan membayar dam. Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama wajib, kedua mustahab.
Pergi dari Shafa’ ke Marwah dihitung satu kali dan kembali dari Marwah ke Shafa’ dihitung yang kedua. Demikian menurut semua fuqaha.
Ibn Jarir ath-Thabari berpendapat: pulang pergi dihitung satu kali. Pendapat ini diikuti oleh Abu Bakar ash-Shirafi, seorang ulama Syafi’i.
Sa’i harus dimulai dari Shafa’ dan diakhiri di Marwah. Jika sebaliknya tidak sah sa’inya. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak apa-apa.
Disunnahkan agar menggabungkan antara waktu malam dan siang hari pada waktu wukuf di ‘Arafah. Demikian menurut tiga imam madzhab. Maliki berpendapat: menggabungkan antara waktu malam dan siang hari saat wukuf di ‘Arafah adalah wajib.
Berkendaraan dan berjalan kaki ketika wukuf di ‘Arafah hukumnya adalah sama saja. demikian menurut Hanafi, Maliki dan salah satu pendapat yang paling kuat dari imam Syafi’i. Dan Hambali berpendapat: berkendaraan adalah lebih utama. Ini juga qaul qadim Syafi’i.
Apabila hari wukuf di ‘Arafah bertepatan dengan hari Jum’at, maka shalat Jum’at tidak dikerjakan di Mina, tetapi cukup dikerjakan shalat dhuhur dua rakaat. Demikian pendapat umumnya fuqaha. Abu Yusuf berpendapat: shalat Jum’at dikerjakan di ‘Arafah.
Al-Qadhi Abdul Wahab berpendapat: Abu Yusuf pernah menanyakan hal ini kepada Malik di rumah Harus al-Rasyid. Malik mengatakan: “Tukang-tukang air kami berada di Madinah. Mereka mengetahui bahwa tidak ada shalat Jum’at di ‘Arafah.” Berdasarkan hal ini penduduk Haramain berpendapat bahwa mereka lebih tahu masalah ini daripada yang lain.
Bermalam di Muz-dalifah merupakan ibadah, tetapi tidak termasuk rukun. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Asy-Sya’bi dan an-Nakha’i berpendapat: bermalam (mabit) di Muzdalifah merupakan rukun.
Para imam madzhab sepakat, hendaknya dijama’ antara shalat maghrib dan isya’ pada waktu isya’. Jika kedua shalat itu dikerjakan pada waktu masing-masing, hal itu dibolehkan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak boleh dikerjakan pada waktunya masing-masing.
Empat imam madzhab sepakat bahwa melempar jumrah hukumnya adalah wajib. Tidak dibolehkan melemparnya kecuali dengan menggunakan batu. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: boleh melemparnya dengan menggunakan sejenis tanah. Dawud berpendapat: boleh menggunakan apa saja.
Menurut kesepakatan para imam madzhab, disunnahkan melempar jumrah sesudah matahari terbit. Jika melemparnya setelah tengah malam, hal itu dibolehkan. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki mengatakan: tidak dibolehkan melempar jumrah kecuali setelah terbit fajar kedua. Mujahid, an-Nakha’i dan ats-Tsawri mengatakan: tidak boleh melempar jumrah kecuali sudah terbit matahari.
Bacaan talbiyah dihentikan sejak lemparan pertama ke jumrah Aqabah. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Maliki berpendapat: dihentikannya talbiyah sesudah matahari condong ke barat pada hari Arafah.
Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pada hari nahar ada empat:
1. Melempar jumrah
2. Menyembelih hadiah
3. Mencukur rambut
4. Mengerjakan thawaf
Dimustahabkan mengerjakan hal-hal tersebut dengan tertib. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hambali berpendapat: tertib disini wajib hukumnya.
Dalam hal mencukur rambut, yang lebih utama adalah mencukur rambut seluruh kepala. Para imam madzhab berbeda pendapat tentang batas minimal yang diwajibkan dalam mencukur rambut. Hanafi: seperempat bagian kepala. Maliki: seluruh kepala atau sebagian besar kepala. Syafi’i: sekurang-kurangnya tiga helai rambut.
Disunnahkan mencukur dari sebelah kanan. Sedangkan menurut Hanafi: memulainya dari sebelah kiri.
Orang yang tidak berambut disukai menjalankan pisau cukur di atas kepala. Hanafi: tidak dipandang mustahab.
Disunnahkan membawa hadiah, yaitu menuntun binatang ternak untuk disembelih, dan disunnahkan memberi tanda pada panggul sebelah kanan jika binatang itu berupa unta atau sapi. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Maliki: diberi tanda pada bagian kirinya. Hanafi: memberi tanda itu haram hukumnya.
Disunnahkan memakaikan dua buah sepatu pada kaki unta dan juga pada kambing. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hambali: tidak disunnahkan pada kambing.
Apabila hadiah itu berupa hadiah sunnah, maka hadiah tersebut tetap menjadi milik orang yang membawanya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Ia boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya hingga binatang itu disembelih.
Sedangkan jika binatang itu merupakan binatang yang dinadzarkan, maka hilang kepemilikannya, dan menjadi milik orang miskin. Oleh karena itu, binatang itu tidak boleh ditukar atau dijual. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hanafi: boleh dijual atau ditukar dengan yang lain.
Dibolehkan meminum air susu binatang hadiah tersebut, yaitu berupa kelebihan dari kebutuhan anaknya. Hanafi: tidak dibolehkan.
Binatang yang telah disembelih untuk membayar dam tidak boleh dimakan dagingnya oleh orang pembayar dam. Hanafi berpendapat: boleh memakan daging binatang dari dam haji qiran dan tamattu’. Maliki: boleh memakan segala dam yang wajib, kecuali tebusan binatang buruan dan fidyah mencukur rambut karena ada sakit padanya.
Dimakruhkan menyembelih binatang hadiah pada malam hari. Maliki berpendapat: tidak boleh.
Tempat yang paling utama untuk menyembelih hewan bagi orang yang berumrah adalah Marwah. Sedangkan bagi orang yang berhaji adalah Mina. Maliki: tidak boleh bagi orang yang umrah selain di Marwah, dan tidak boleh bagi orang yang berhaji selain di Mina.
Thawaf ifadhah termasuk rukun-rukun haji. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Permulaan waktunya thawaf ifadhah adalah sejak pertengahan malam hari raya. Waktu yang paling utama ialah pada waktu dluha, sedangkan akhir waktunya tidak ada.
Hanafi: permulaan waktunya adalah sejak terbit fajar kedua, dan akhir waktunya adalah pada hari tasyrik kedua. Apabila diakhirkan sampai hari ketiga, maka wajib membayar dam.
Para imam madzhab sepakat bahwa melempar tiga jumrah adalah pada hari-hari tasyriq, sesudah tergelincir matahari. Tiap-tiap jumrah dilempar dengan tujuh buah batu kerikil. Hal ini merupakan salah satu kewajiban haji.
Ibn al-Majisyun berpendapat: melempar jumrah Aqabah merupakan rukun haji. Oleh karena itu, tidak boleh tahallul dari haji kecuali sesudah mengerjakannya.
Wajib memulai melempar jumrah yang mengiringi masjid Khaif, lalu jumrah Wustha’, kemudian jumrah ‘Aqabah. Hanafi: jika melempar jumrah tidak mengikuti tertib urutannya, hendaklah ia mengulanginya. Jika tidak diulangi, maka ia tidak dikenai dam.
Hari-hari yang berbilang (ayyamul ma’dudat) ialah hari-hari tasyriq. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Sedangkan yang dimaksud dengan hari-hari yang dikenal (ayyamul ma’dudat) adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Maliki berpendapat: yang dimaksud dengan ayyamul ma’lumat adalah tiga hari, yaitu hari nahar dan dua hari sesudahnya. Hanafi: yaitu hari ‘Arafah, hari nahar dan hari tasyriq pertama.
Singgah di al-Muhshab (al-Batha’) pada malam 14 Dzulhijjah adalah sunnah. Diriwayatkan dari Hanafi, bahwa yang demikian merupakan ibadah. Inilah pendapat Umar bin al-Khaththab ra.
Dimustahabkan bagi imam (kepala negara) berkhutbah pada hari-hari tasyriq. Hanafi berpendapat: tidak disunnahkan.
Bagi imam disunnahkan pergi kembali pada hari kedua sebelum terbenam matahari, dan tidak melempar jumrah pada hari ketiga. Jika ia tidak pulang hingga matahari terbenam, maka ia wajib bermalam di sana serta pagi harinya melempar jumrah. Hanafi: ia boleh pulang selama matahari belum terbit.
Apabila perempuan yang berhaji mengalami haid sebelum thawaf ifadhah, maka ia tidak boleh berangkat pulang hingga ia suci dan berthawaf, dan tidak boleh tukang unta menahan untanya untuk ditunggangi perempuan itu, tetapi ia dibolehkan terus berangkat beserta jamaah lainnya. Sedangkan perempuan yang sedang haid tersebut menaiki unta yang lain. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut Maliki: tukang unta harus menahan untanya dalam masa haid maksimal ditambah tiga hari. Sedangkan menurut Hanafi: thawaf tidak disyaratkan suci. Oleh karena itu, perempuan tersebut boleh berthawaf dan berangkat bersama jamaah lainnya.
Menurut pendapat para fuqaha, thawaf wada’ (selamat tinggal) merupakan kewajiban haji, kecuali bagi orang yang hendak bermukim di Makkah. Hanafi: thawaf wada’ tidak gugur lantaran bermukim di Makkah.
Sekian.

Miqat

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Miqat itu ada dua, yaitu:
1. Miqat zamaniyah (waktu)
2. Miqat makaniyah (temapt)
Miqat zamaniyah adalah beberapa bulan yang telah ditentukan dimana tidak boleh berihram untuk haji kecuali dalam bulan-bulan yang telah ditentukan, yaitu bulan Syawal, Dzulqa’idah dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah. Siang hari nahar (Idul Adha) termasuk ke dalamnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Menurut Hambali: miqat zamaniyah adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Syafi’i berpendapat: miqat zamaniyah adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.
Jika seseorang berihram untuk haji pada bulan selain bulan-bulan yang tadi, maka hukumnya makruh, tetapi hajinya tetap sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Sedangkan pendapat yang paling shahih dari Syafi’i adalah ihramnya jadi ihram umrah, tidak sah untuk ihram haji. Dawud berpendapat: tidak sah untuk haji dan sah untuk umrah.
Adapun, miqat makaniyah adalah tempat-tempat yang telah ditentukan untuk berihram. Bagi penduduk Makkah, miqat makaniyahnya adalah kota Makkah itu sendiri. Sedangkan bagi orang yang tempat tinggalnya jauh dari miqat, maka jika ia kehendaki, ia boleh memulai ihramnya dari rumahnya dan boleh juga dari miqat. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dalam memulai ihram. Hanafi berpendapat: yang lebih utama adalah dari rumahnya. Pendapat Hanafi ini sama dengan pendapat asy-Syafi’i yang paling shahih menurut pendapat yang dikuatkan oleh ar-Rafi’i. Maliki dan Hambali berpendapat: memulainya dari miqat adalah lebih utama. Ini juga salah satu pendapat Syafi’i yang dianggap paling shahih oleh an-Nawawi yang berpendapat: pendapat inilah yang sesuai dengan hadits shahih: “Miqat-miqat yang sudah dikenal itu adalah untuk ahlinya (Makkah) dan untuk orang yang datang ke Makkah yang bukan ahlinya.”
Hukum ini menjadi kesepakatan para ulama.
Barangsiapa yang telah sampai pada miqat dengan maksud berhaji, maka ia tidak boleh melewatinya dengan tidak melaksanakan ihram. Jika ia melewatinya dengan tidak berihram, maka ia harus kembali lagi ke miqat untuk berihram. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
An-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri berpendapat: ihram dan miqat itu tidak wajib hukumnya. Apabila ia kembali ke miqat karena tempat itu berbahaya atau waktunya sudah sempit, maka ia harus membayar dam untuk melewati miqat tanpa berihram tersebut. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Sa’id bin Jubair berpendapat: ihramnya tidak sah jika tidak dari miqat.
Orang yang memasuki kota Makkah tanpa berihram, maka ia tidak diharuskan mengqadla. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: diharuskan mengqadlanya kecuali ia penduduk Makkah, maka tidak wajib.
Sekian.

Haji

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab telah sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Ia adalah fardlu yang diwajibkan atas setiap Muslim yang merdeka, baligh dan mempunyai kemampuan, dalam seumur hidup sekali.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang hukum umrah. Hanafi dan Maliki: hukumnya adalah sunnah. Hambali: umrah hukumnya fardlu sebagaimana haji. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih bahwa umrah hukumnya adalah fardlu.
Dibolehkan mengerjakan umrah pada setiap waktu, tidak ada batasannya serta tidak dimakruhkan. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Menurut Maliki: dimakruhkan mengerjakan umrah dua kali dalam satu tahun. Sebagaimana ulama pengikut Maliki mengatakan: boleh mengerjakan umrah setiap satu bulan satu kali.
Dimustahabkan bagi orang yang telah berkewajiban haji untuk cepat-cepat mengerjakannya. Tetapi jika menundanya boleh, demikian menurut Syafi’i, karena ibadah haji panjang waktunya. Menurut Hanafi, Maliki dalam pendapatnya yang masyhur serta pendapat Hambali yang paling jelas: wajib dilaksanakan dengan segera, dan tidak boleh ditunda-tunda jika sudah berkewajiban.
Orang yang berkewajiban haji, tetapi tidak mengerjakannya sehingga ia meninggal sebelum dapat mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban darinya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab. Adapun jika ia meninggal sesudah memungkinkan untuk mengerjakan haji, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Oleh karena itu, ia wajib dihajikan oleh orang lain dengan biaya yang diambil dari hartanya, baik ia diwasiatkan untuk itu atau tidak, sebagaimana utang. Hanafi dan Maliki: kewajibannya gugur lantaran kematian, dan keluarganya tidak wajib mengerjakannya, kecuali kalau ada wasiat, maka ia dihajikan dengan biaya dari sepertiga harta pusakanya.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang darimana mulainya haji untuk menggantikan mayat. Hanafi dan Hambali: diihramkan di perkampungan keluarganya. Maliki: diihramkan sejak menerima wasiat. Syafi’i: diihramkan di Miqat.
Para imam madzab telah sepakat bahwa anak kecil tidak diwajibkan haji, dan kewajiban haji tidak gugur darinya jika ia telah mengerjakan haji sebelum baligh.
Adapun mengenai ihramnya, apabila ia telah mendapat izin dari walinya, maka hal itu sah. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan Hambali: jika ia mampu dan mumayyiz (dianggap sah), dan anak yang belum mumayyiz diihramkan oleh wakilnya. Hanafi: ihram haji anak kecil tidak sah.
Syarat wajib haji adalah mempunyai kemampuan untuk mengerjakannya sendiri, atau untuk dikerjakan orang lain karena tidak mampu mengerjakannya sendiri. Kemampuan yang dikehendaki dari orang yang berhaji sendiri adalah bekal dan kendaraan. Adapun orang yang tidak mempunyai keduanya, tetapi sanggup berjalan kaki dan sanggup pula berusaha dalam perjalanannya untuk memperoleh nafkah, maka orang tersebut disunnahkan melaksanakan haji. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.
Jika perbelanjaannya diperoleh dari jalan meminta-minta, maka ibadah haji yang demikian adalah makruh. Maliki: jika orang tersebut tidak biasa meminta-minta maka ia wajib haji.
Orang yang mendapat upah untuk dibawa bersama ke haji, maka hajinya sah, kecuali menurut Hambali.
Orang yang merampas harta orang lain lalu dipergunakan untuk biaya haji, atau orang yang merampas kendaraan lalu dipergunakan untuk berhaji, maka hajinya sah walaupun ia durhaka. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i, dan Maliki. Dari Hambali diperoleh riwayat bahwa hainya tidak sah.
Tidak boleh menjual rumah untuk dipergunakan haji. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.
Jika seseorang mempunyai harta yang cukup untuk berhaji, tetapi ia perlu tempat tinggal, maka ia boleh membeli rumah dan mengakhirkan hajinya. Demikian menurut jumhur ulama. Syaikh Abu Hamid, salah seorang ulama Syafi’i, berpendapat: wajib dipergunakan untuk haji. Abu Yusuf berpendapat: tidak boleh menjual rumah dan tidak boleh membelinya.
Jika seseorang perlu pengawal dalam perjalanannya maka ia tidak diwajibkan berhaji. Demikian menurut tiga imam madzhab. Sedangkan Maliki: jika gangguan itu hanya sedikit dan dapat membela diri, ia wajib mengerjakan haji.
Apakah wajib naik kapal dengan cara berlayar untuk berhaji, jika menurut kebiasaan, banyak mendatangkan keselamatan? Hanafi dan Maliki serta Hambali: wajib haji. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang lebih jelas adalah wajib.
Perempuan tidak wajib haji jika tidak ada orang lain yang dapat menjaga keselamatan dirinya, seperti suami atau muhrimnya. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Bahkan keduanya berpendapat: tidak boleh perempuan itu berhaji jika tidak berserta suami atau muhrimnya, tetapi ia boleh berhaji beserta rombongan perempuan yang dipercaya. Ia juga berpendapat dalam kitab al-Imla’: boleh beserta perempuan lain walaupun seorang. Dalam riwayat lain, Syafi’i berpendapat: apabila perjalanannya aman, ia boleh berhaji tanpa ataupun disertai perempuan lain.
Orang yang tidak bisa bergerak dan tidak sanggup berhaji sendiri karena sudah tua sekali atau menderita penyakit yang tak bisa diharapkan kesembuhannya, tetapi ia mempunyai harta untuk mengupah orang lain, ia wajib mengerjakan haji. Ia bisa menyuruh orang lain mengerjakannya dengan diberi upah dan tetap menjadi tanggung jawabnya jika orang itu tidak melakukan hal tersebut. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Sedangkan Maliki: orang yang tidak sanggup bergerak tidak diwajibkan berhaji, melainkan atas orang yang sanggup mengerjakannya sendiri.
Apabila seseorang mengupah orang lain untuk berhaji maka hajinya adalah hak orang yang mengupah. Demikian kesepakatan para imam madzhab, kecuali Hanafi yang berpendapat bahwa ibadah hajinya untuk orang yang mengerjakannya. Sedangkan orang yang mengupahnya hanya mendapat pahala dari pembelanjaannya.
Orang buta, apabila ia mempunyai atau mendapatkan orang yang menuntunnya atau menunjukkan jalannya, maka ia wajib mengerjakan ibadah haji sendiri, dan tidak boleh menyuruh orang lain untuk menggantikannya. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. Hanafi berpendapat: haji itu diwajibkan pada orang buta. Oleh karena itu, ia boleh menggantikan dirinya dengan orang lain.
Dalam haji fardlu, orang yang meninggal boleh digantikan oleh orang lain. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Adapun tentang haji sunnah, itupun diperbolehkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Syafi’i dalam hal ini mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih tidak membolehkannya.
Orang yang belum berhaji untuk dirinya sendiri, tidak dibolehkan menghajikan orang lain. Jika orang yang belum berhaji menghajikan orang lain, maka haji tersebut untuk yang menghajikan. Demikian menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali. Menurut riwayat lain dari Hambali: ihram tersebut tidak sah untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Hanafi dan Maliki berpendapat: boleh dikerjakan orang lain, tetapi makruh hukumnya.
Tidak boleh mengerjakan haji sunnah oleh orang yang belum mengerjakan haji wajib. Jika ia berniat melaksanakan haji sunnah maka haji tersebut menjadi haji fardlu. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki mengatakan: boleh berhaji sunnah sebelum mengerjakan haji fardlu, dan ihramnya sah sesuai dengan apa yang dimaksudkannya.
Al-Qadhi Abdul Wahab al-Maliki berpendapat: tidak boleh, sebab haji harus dikerjakan dengan sesegera mungkin, tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana waktu shalat.
Menyewakan diri untuk mengerjakan haji hukumnya boleh. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Seperti itu juga pendapat Maliki, tetapi makruh. Sedangkan menurut pendapat Hanafi: tidak boleh.
Tiga imam madzhab sepakat bahwa sah haji dengan salah satu cara di antara tiga cara haji masyhur sebagai berikut:
1. Ifrad;
2. Tamattu’
3. Qiran
Bagi setiap mukalaf secara mutlak dan tidak dimakruhkan.
Hanafi berpendapat: tidak disyariatkan bagi penduduk Makkah mengerjakan haji secara tamattu’ dan qiran, dan dimakruhkan bagi mereka mengerjakan kedua cara tersebut.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama di antara ketiga cara haji tersebut. Hanafi: qiran lebih utama, lalu tamattu’ bagi orang yang datang dari jauh, kemudian ifrad. Maliki mempunyai dua pendapat dalam hal ini. Pertama, ifrad lalu tamattu’, kemudian qiran. Kedua, tamattu’ yang paling utama.
Syafi’i juga mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih adalah ifrad, lalu tamattu’, kemudian qiran. Sedangkan yang paling kuat menurut dalil yang telah dipilih oleh segolongan ulama pengikutnya adalah tamattu’ lalu ifrad karena untuk mendapatkan haji mabrur. Ini juga pendapat Hambali.
Tidak dibolehkan memasukkan haji pada umrah sesudah thawaf, karena hal itu berarti telah mendatangkan niat. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Adapun memasukkan umrah pada haji sebelum wukuf dibolehkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Menurut pendapat Hambali: tidak boleh secara mutlak. Syafi’i mempunyai dua pendapat.
Orang yang bukan penduduk sekitar Masjid al-Haram jika berhaji dengan cara tamattu’, maka ia wajib membayar dam (denda). Begitu juga orang yang mengerjakan haji secara qiran, yaitu dendanya seekor kambing. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab.
Dawud dan Thawus berpendapat: tidak ada denda bagi orang yang berhaji qiran. Asy-Sya’bi berpendapat: untuk orang yang berhaji qiran, dam-nya seekor unta.
Mereka bebeda pendapat tentang siapa penduduk Masjid al-Haram. Penduduk yang dipandang sebagai penduduk Masjid al-Haram adalah orang yang tinggal dalam radius tidak sampai satu jarak qashar shalat. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut pendapat Hanafi: orang yang tidak sampai ke jarak Miqat. Sedangkan menurut pendapat Maliki: orang-orang yang menjadi penduduk Makkah dan Dzu Thuwa.
Wajib dam tamattu’ jika telah berihram untuk haji. Demikian menurut pendpat Hanafi dan Syafi’i. Maliki berpendapat: tidak boleh hingga ia melempar jumrah ‘Aqabah.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang waktu dibolehkannya mengeluarkan binatang hadiah untuk disembelih. Hanafi dan Hambali: tidak boleh hadiah disembelih sebelum hari nahar. Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang yang lebih jelas adalah bahwa hadiah disembelih sesudah selesai umrah.
Apabila tidak didapat hadiah di tempatnya, hendaknya ia berpuasa, yaitu tiga hari pada waktu haji dan tujuh hari sesudah tiba di negeri-nya. Puasa yang tiga hari tidak boleh dikerjakan puasa melainkan sesudah ia berihram untuk haji. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Menurut Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: apabila ia sudah berihram untuk umrah, maka ia sudah boleh berpuasa tiga hari.
Apakah dibolehkan puasa tiga hari tersebut pada hari-hari tasyriq? Dalam hal ini Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang lebih jelas adalah tidak membolehkannya. Ini juga pendapat madzhab Hanafi. Sedangkan dalam qaul qadim Syafi’i dan yang terpilih adalah membolehkannya. Demikian juga pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayatnya.
Puasa tiga hari tidak gugur karena tertinggalnya hari Arafah, kecuali menurut pendapat Hanafi, yang menyatakan: gugur puasanya, dan ia wajib menyembelih hadiah. Adapun menurut pendapat yang paling kuat dari madzhab Syafi’i: dikerjakan sesudah hari ‘Arafah, dan wajib mengqadla apabila ditunda puasa yang tiga hari tersebut. Sedangkan menurut pendapat Hambali: jika puasa tersebut ditunda tanpa udzur, maka ia wajib membayar dam. Demikian juga, apabila ia mengakhirkan penyembelihan dari tahun ke tahun lainnya.
Apabila seseorang yang berpuasa mendapatkan binatang hadiah, yakni memperoleh binatang untuk disembelih, disukailah ia berpindah pada penyembelihan binatang itu. Hanafi: ia wajib menyembelihnya.
Adapun tentang puasa yang tujuh hari, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang lebih shahih adalah dikerjakan ketika ia sudah tiba di tengah keluarganya. Demikian juga menurut pendapat madzhab Hambali. Pendapat kedua dari Syafi’i adalah boleh dikerjakan sebelum ia pulang. Sedangkan tentang waktunya ada dua cara. Pertama, ketika keluar dari Makkah. Inilah pendapat Maliki. Kedua, apabila sudah selesai berhaji, meskipun masih berada di Makkah. Inilah pendapat Hanafi.
Apabila seseorang yang berhaji tamattu’ telah selesai dari segala pekerjaan umrahnya, maka ia ber-tahallul, baik pada waktu menuntun hadiah maupun tidak. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Menurut Hanafi dan Hambali: jika ia menuntun hadiah, maka ia tidak boleh ber-tahallul sebelum hari nahara. Oleh karena itu, hendaknya ia tinggal dalam ihramnya lalu berihram untuk haji atas umrah, sehingga ia menjadi haji qiran, lalu ia tahhallul darinya.
Sekian.

I’tikaf

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab sepakat bahwa i’tikaf disyariatkan dan merupakan suatu ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Yang dimustahabkan adalah dilakukan dalam setiap waktu dan lebih utama lagi pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan untuk mencari lailatul qadar.
Para imam madzab sepakat bahwa Lailatul Qadar dicari di dalam bulan Ramadlan dan ia berada di bulan Ramadlan. Namun menurut pendapat Hanafi, bahwa Lailatul Qadar ada pada seluruh tahun. Diriwayatkan dari Abu Hanifah, sebagaimana diterangkan Ibn ‘Athiyah dalam kitab tafsirnya bahwa Hanafi berpendapat: Lailatul Qadar telah diangkat (tidak ada lagi). Pendapt Abu Hanifah ini ditolak.
Para imam madzab berbeda pendapt tentang malam berapa yang sangat diharapkan adanya Lailatul Qadar tersebut? Menurut Syafi’i: yakni malam ke 21 atau ke 23 pada bulan Ramadlan. Menurut Maliki: pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadlan. Namun, ia tidak menentukan pada malam ganjil yang mana. Sedangkan menurut Hambali: lailatul Qadar pada malam ke 27 bulan Ramadlan.
Tidak sah i’tikaf kecuali dilakukan di dalam masjid, menurut Maliki dan Syafi’i, dan lebih utama lagi di masjid Jami’-tempat didirikannya shalat Jumat.
Hanafi: laki-laki tidak sah beri’tikaf kecuali dalam masjid, tempat didirikannya shalat berjamaah. Hambali: tidak sah I’tikaf kecuali dilakukan di masjid tempat dilakukannya shalat Jum’at.
Hudzaifah: tidak sah i’tikaf kecuali dilakukan di tiga masjid yakni Masjid al-Haram Makkah, Masjid an-Nabawi Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Palestina.
Perempuan tidak sah i’tikaf di mushala di dalam rumahnya, yaitu tempat terpisah di rumahnya yang disediakan untuk shalat. Demikian menurut qaul jadid yang paling shahih dari Syafi’i dan pendapat Maliki serta Hambali. Sedangkan Hanafi: yang lebih utama bagi perempuan adalah i’tikaf di mushala di dalam rumahnya. Ini juga qaul qadim Syafi’i. Bahkan makruh perempuan i’tikaf kecuali di tempat tersebut.
Apabila suami mengizinkan istrinya i’tikaf, lalu istrinya memulai i’tikaf, apakah suami boleh mencegah untuk menyempurnakannya? Hanafi dan Maliki: tidak boleh berbuat demikian. Syafi’i dan Hambali: boleh berbuat demikian.
Para imam madzab sepakat bahwa seseorang yang beri’tikaf tidak sah kecuali dengan niat.
Apakah sah i’tikaf tanpa disertai puasa? Hanafi, Maliki, dan Hambali: tidak sah kecuali dengan puasa. Syafi’i: sah meski tidak disertai dengan puasa.
Menurut Syafi’i dan pendapat paling masyhur dari Hambali: i’tikaf itu tidak mempunyai masa tertentu. Dari Hanafi diperoleh dua riwayat. Pertama: boleh sebagian saja. kedua: tidak boleh kurang dari sehari semalam. Ini juga pendapat Maliki.
Jika seseorang bernadzar untuk i’tikaf satu bulan pada bulan tertentu maka ia wajib i’tikaf sebulan terus menerus. jika ia tinggalkan sehari saja, ia wajib mengqadla hari yang ditinggalkannya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab, kecuali satu riwayat dari Hambali yang menyatakan: harus diulang lagi.
Jika seseorang bernadzar untuk i’tikaf sebulan tanpa ditentukan bulannya, maka ia boleh mengerjakannya terus menerus hingga satu bulan dan boleh juga berselang. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Sedangkan Hanafi dan Maliki: wajib terus menerus hingga satu bulan. Dari Hambali diperoleh dua riwayat.
Para imam madzab sepakat bahwa orang yang berniat i’tikaf hanya siang hari, tidak sampai malam, maka hukumnya sah kecuali menurut pendapat Maliki yakni tidak sah kalau digabungkan malam dan siangnya.
Jika seseorang bernadzar untuk i’tikaf dua hari terus menerus maka ia tidak wajib i’tikaf pada malam hari di antara keduanya. demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedang Hanafi berpendapat: wajib i’tikaf dua hari dua malam. Pendapat Abu Hanifah inilah yang dianggap paling shahih menurut para ulama pengikut Syafi’i.
Apabila orang yang i’tikaf keluar dari tempat i’tikaf bukan untuk keperluan buang air, makan dan minum, maka i’tikafnya tidak batal sebelum lebih dari setengah hari. Jika ia keluar untuk membuang air besar dan untuk sesuatu yang dibutuhkan, seperti mandi janabah, maka dibolehkan. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.
Para imam madzab sepakat bahwa apabila seseorang i’tikaf di masjid bukan masjid jami’, lalu ia hendak menghadiri shalat Jum’at, maka ia wajib keluar darinya. Apakah dengan demikian i’tikafnya menjadi batal ? Hanafi dan Maliki: tidak batal. Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama yang paling shahih adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam kitabnya, yaitu batal i’tikafnya kecuali jika hal itu disyariatkan dalam i’tikafnya. Kedua, sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Mukhtashar al-Biwaithi, yaitu tidak batal i’tikafnya.
Apabila orang yang i’tikaf mensyaratkan keluar dari i’tikaf kalau ada yang menjadi ibadah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantar jenazah, maka dibolehkan ia keluar dari i’tikafnya dan tidak batal, demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki: batal i’tikafnya.
Menurut kesepakatan imam madzab, apabila orang yang i’tikaf menyetubuhi istrinya dengan sengaja maka i’tikafnya batal, tetapi ia tidak wajib membayar kafarah. Al-Hasan al-Bashri dan az-Zuhri berpendapat: wajib membayar kafarah sumpah.
Sedangkan jika orang yang i’tikaf menyetubuhi istrinya karena lupa bahwa ia sedang i’tikaf, maka i’tikafnya menjadi rusak. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i: tidak rusak i’tikafnya.
Adapun jika ia menyetubuhi istrinya tidak pada kemaluannya dengan disertai syahwat, lalu keluar mani, maka i’tikafnya menjadi batal. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Menurut Maliki: batal i’tikafnya baik keluar mani atau tidak. Dari Syafi’i terdapat dua pendapat, dan yang paling shahih adalah batal jika keluar mani.
Orang yang sedang i’tikaf tidak dimakruhkan menggunakan wangi-wangian serta memakai pakaian yang tebal. Demikian menurut tiga imam madzab. Menurut Hambali: makruh berbuat demikian.
Para imam madzab sepakat bahwa orang yang sedang i’tikaf dimakruhkan terus-menerus berdiam diri –tidak melakukan aktifitas apapun seperti shalat, dzikir dan lain-lain- sampai malam hari. Bahkan Syafi’i mengatakan: “Meskipun ia bernadzar untuk berdiam diri, maka ia dibolehkan berbicara dan tidak ada kafarah.”
Menurut kesepakatan para imam madzab, bagi orang yang i’tikaf disunnahkan untuk shalat, membaca al-Qur’an, dan berdzikir. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang membaca hadits dan kitab fiqih. Maliki dan Hambali: tidak disukai. Keduanya berpendapat demikian karena i’tikaf adalah mengonsentrasikan hati untuk memahami isi al-Qur’an dan arti makna-makna dzikir. Oleh karena itu meyibukkan hati dengan urusan-urusan lain tidaklah sesuai dengan ibadah ini. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i: disukai juga orang yang beri’tikaf itu membaca kitab hadits dan kitab fiqih.
Para imam madzab telah sepakat tentang tidak bolehnya orang yang i’tikaf membawa dan mengerjakan pekerjaannya secara mutlak. Allah Mahatinggi yang mengetahui segalanya.

Pembagian Zakat

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Empat imam madzab sepakat tentang bolehnya menyerahkan zakat kepada salah satu golongan dari delapan golongan yang disebutkan dalam al-Qur’an. Namun menurut Syafi’i: wajib diberikan kepada delapan golongan jika zakat tersebut dibagikan oleh imam (kepala negara) dan terdapat petugas pengumpul zakat. Jika tidak ada petugas pengumpul zakat, maka zakat tersebut dibagikan kepada tujuh golongan saja. sedangkan jika tidak ada sebagian golongan maka zakat tersebut diberikan kepada golongan yang ada. Demikian juga orang yang wajib membayar zakat wajib membagikannya kepada semua golongan jika ada golongan-golongan tersebut di sekitar tempat tinggalnya dan harta yang dibagikan itu mencukupi. Akan tetapi jika tidak mencukupi maka zakat tersebut wajib diberikan kepada tiga golongan, dan jika ketiga golongan itu tidak ada disekitar tempat tinggalnya maka diberikan kepada tiga golongan, dan jika ketiga golongan tersebut tidak ada di sekitar tempat tinggalnya maka diberikan kepada kelompok yang ada.
Delapan golongan yang dimaksud adalah:
1. Fuqara’ (orang-orang fakir)
2. Masakin (orang-orang miskin)
3. ‘Amil (pengurus zakat)
4. Muallaf qulubuhum (orang yang ditundukkan hatinya)
5. Riqab (budak mukatab)
6. Gharim (orang yang berhutang)
7. Fii sabilillah (kepentingan agama)
8. Ibn sabil (musafir)
Menurut Hanafi dan Maliki: fakir adalah orang yang dapat memenuhi sebagian kebutuhannya dan tidak dapat memenuhi sebagian lainnya. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa. Syafi’i dan Hambali: fakir adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa. Sedangkan miskin adalah orang yang dapat memenuhi sebagian kebutuhannya.
Para imam madzab berbeda pendapat mengenai muallaf qulubuhum (orang yang ditundukkan hatinya). Hanafi: ketentuan tentang mereka telah dihapus (mansukh). Demikian juga menurut riwayat dari Hambali.
Pendapat paling masyhur dari Maliki: tidak ada lagi bagian mereka pada orang-orang Muslim yang kaya. Dalam riwayat lain dari Maliki: apabila kepala negara merasa perlu kepada golongan muallaf, ia boleh memberikan zakat kepada mereka karena ada ‘illat.
Sementara itu Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal apakah mereka masih diberi zakat sesudah masa Rasulullah saw. atau sudah tidak diberi lagi? Pendapat yang paling shahih: muallaf tetap diberi zakat dan hukum mereka tidak dihapus. Demikian juga menurut Hambali dalam satu riwayatnya.
Apakah bagian yang diambil ‘amil adalah sebagai zakat ataukah upah pekerjaannya: Hanafi dan Hambali: bagian yang diambil ‘amil adalah sebagai zakat bukan upah pekerjaanya. Hambali membolehkan budak menjadi ‘amil atau dzawil qurba (keluarga dekat). Juga mengenai ‘amil kafir, menurut beliau ada dua pendapat.
Hanafi, Maliki dan Syafi’i tidak membolehkan apa yang dibolehkan oleh Hambali tersebut.
Riqab adalah budak mukatab, yakni budak yang dijanjikan majikannya untuk dimerdekakan asalkan ia dapat menebus dirinya. Demikian, pendapat para imam madzab, kecuali Maliki.
Hanafi dan Syafi’i membolehkan menyerahkan zakat kepada budak mukatab agar ia dapat menebus pembebasan dirinya. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak boleh, sebab riqab adalah hamba yang belum mukatab. Oleh karena itu menurut Maliki: budak itu dibeli dengan zakat, lalu dimerdekakan. Demikian juga pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya.
Gharim adalah orang yang mempunyai utang. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab. Fii sabilillah adalah para pejuang agama. Hambali dalam salah satu riwayatnya yang jelas berpendapat bahwa orang yang berhaji termasuk fii sabilillah.
Ibn sabil adalah musafi, demikian kesepakatan empat imam madzab.
Bolehkan zakat diberikan kepada gharim yang kaya? Hanafi, Maliki dan Hambali: tidak boleh. Sementara itu Syafi’i: boleh.
Para imam madzab berbeda pendapat mengenai sifat ibn sabil sesudah mereka sepakat bolehnya ibn sabil memperoleh bagian zakat.
Menurut Hanafi dan Maliki, ibn sabil adalah orang yang sudah melakukan perjalanan, bukan orang yang hendak melakukan perjalanan. Syafi’i berpendapat: ibn sabil adalah orang yang sudah melakukan perjalanan dan yang akan melakukan perjalanan. Sementara itu dari Hambali diperoleh dua riwayat dan yang lebihjelas: ibn sabil adalah orang yang berada dalam perjalanan.
Bolehkan seseorang memberikan seluruh zakatnya hanya kepada orang miskin? Hanafi: boleh, asalkan orang miskin itu tidak menjadi kaya lantaran zakat yang diterimanya. Maliki: boleh memberinya sehingga ia menjadi kaya apabila demikian ia menjadi terpelihara. Syafi’i: zakat diberikan kepada sedikitnya tiga oran dari setiap golongan.
Empat imam madzab berbeda pendapat mengenai bolehnya membayar zakat dari suatu negeri ke negeri lain. Hanafi: hal demikian adalah makruh, kecuali kepada kerabat yang memerlukan atau suatu kaum dari suatu negeri yang betul-betul memerlukannya. Jika demikian maka tidak makruh. Maliki: tidak boleh, kecuali kecuali kalau penduduk negeri yang dituju sangat memerlukannya. Jika demikian kepala negara (imam) tidak boleh membayarkannya kepada mereka menurut kemampuan. Syafi’i mempunyai dua pendapat dan pendapat yang paling shahih adalah tidak boleh memindahkan zakat ke negeri lain. Sedangkan pendapat Hambali yang paling masyhur: tidak boleh memindahkan zakat suatu negeri ke negeri lain yang dibolehkan qashar shalat padanya, meskipun di negerinya sendiri tidak ada yang berhak menerimanya.
Empat imam madzab sepakat tentang tidak bolehnya memberikan zakat kepada orang kafir. Az-zuhri dan Ibn Syubrumah membolehkan pemberian zakat kepada ahlu dzimmah. Menurut pendapat yang paling kuat dari Hanafi: boleh memberikan zakat fitrah dan kafarah kepada orang kafir dzimmi.
Empat imam madzab berbeda pendapat mengenai sifat orang kaya yang tidak boleh diberi zakat. Hanafi: orang yang memiliki harta satu nisab. Pendapat paling masyhur dari Maliki: boleh memberi zakat kepada orang yang mempunyai 40 dirham.
Al-Qadhi ‘Abdul Wahab berpendapat: tidak ada batasan bagi orang kaya mengenai hartanya. Ia pun mengatakan bahwa zakat diberikan kepada orang yang mempunyai tempat tinggal, pelayan, dan kendaraan, yang tidak mempunyai kecukupan untuk membiayai semua itu.
Ada yang berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada orang yang mempunyai kekayaan 40 dirham. Ada juga yang berpendapat bahwa orang berilmu boleh menerima zakat, sekalipun ia seorang kaya.
Orang yang sibuk mencari ilmu agama, jika ia mencari nafkah sendiri dan menyebabkannya tidak bisa mencari ilmu, maka ia boleh mengambil zakat. Menurut Syafi’i: jika ilmunya diharapkan bisa memberikan manfaat (bagi umat) maka ia boleh mengambil zakat. Jika tidak, maka tidak boleh.
Adapun orang yang sibuk dengan ibadah sunnah jika ia meninggalkannya untuk bekerja dapat mengakibatkannya tidak bisa mengerjakan ibadah sunnah, maka ia tidak boleh mengambil zakat. Hal itu karena bersungguh-sungguh mencari nafkah agar tidak menggantungkan hidup kepada orang lain adalah lebih utama daripada mengerjakan ibadah sunnah tetapi selalu menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Hal ini sangat berbeda dengan pencari ilmu yang hukumnya fardlu kifayah dan masyarakatpun membutuhkannya.
Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat yang saling bertentangan. Kebanyakan shahabatnya menerangkan bahwa apabila seseorang mempunyai 40 dirham, ia tidak boleh mengambil zakat.
Jika seseorang memberikan zakatnya kepada orang lain, kemudian diketahui bahwa orang itu adalah orang kaya, maka menurut pendapat Hanafi: zakatnya sah. Maliki: tidak sah. Syafi’i: memiliki dua riwayat dan pendapat yang paling shahih: tidak sah. Hambali juga mempunyai dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat imam madzab di atas.
Orang yang sanggup berusaha, sehat jasmani dan kuat tidak boleh mengambil zakat. Demikian pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi dan Maliki: mereka boleh mengambil zakat.
Para imam madzab sepakat tentang tidak bolehnya memberikan zakat kepada ayah, ibu, kakek dan nenek. Begitu juga kepada anak, cucu, dan seterusnya. Namun menurut Maliki: memberikan zakat kepada kakek dan cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah boleh, karena nafkah mereka tidak lagi menjadi tanggungannya.
Bolehkah membayar zakat kepada orang yang mewarisinya di antara para kerabat, seperti saudara dan paman? Hanafi, Maliki dan Syafi’i: boleh. Sedangkan Hambali memiliki dua riwayat dan yang lebih jelas: tidak boleh.
Para imam madzab sepakat tentang tidak bolehnya memberikan zakat kepada budak sendiri. Hanafi membolehkan pemberian zakat kepada budak orang lain jika tuannya fakir.
Bolehkan memberi zakat kepada suami? Hanafi: tidak boleh. Syafi’i: boleh. Maliki: jika zakat yang diambil itu untuk nafkah keluarga maka tidak boleh. Namun jika dipergunakan untuk nafkah anak suami dari istri lain yang miskin maka boleh.
Para imam madzab sepakat tentang tidak bolehnya mengeluarkan zakat untuk membangun masjid atau mengkafani mayat.
Empat imam madzab sepakat bahwa haram memberikan sedekah wajib (zakat) kepada bani Hasyim. Mereka adalah lima keluarga berikut:
1. Keluarga ‘Ali
2. Keluarga ‘Abbas
3. Keuluarga Ja’far
4. Keluarga ‘Aqil
5. Keluarga al-Harits putra Abdul Muththalib
Para imam madzab berbeda pendapat tentang Bani ‘Abdul Muththalib. Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayatnya yang paling kuat: mereka haram menerima zakat.
Hanafi dan Hambali mengharamkan para maula Bani Hasyim menerima zakat. Demikian juga pendapat Maliki dan Syafi’i.

Zakat Hewan Ternak

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Empat imam madzab sepakat tentang wajibnya zakat binatang, yaitu sapi, unta, domba (kambing) dengan syarat telah mencapai hisab, tetap pemiliknya, mencapai hawl, dan pemiliknya adalah orang merdeka dan Muslim.
Mereka juga sepakat tentang syarat penggembala, kecuali Maliki yang berpendapat: wajib zakat atas unta dan sapi yang dipekerjakan dan domba yang dicarikan rumput, seperti wajibnya zakat atas hewan ternak yang digembalakan di padang rumput.
Empat imam madzab sepakat bahwa nisab awal unta dimulai setelah berjumlah 5 ekor. Zakatnya adalah seekor domba. Perinciannya sebagai berikut:
- 5 ekor unta zakatnya seekor domba
- 10 ekor unta zakatnya 2 ekor domba
- 15 ekor unta zakatnya 3 ekor domba
- 20 ekor unta zakatnya 4 ekor domba
- 25 ekor unta zakatnya seekor bintu makhadh (anak unta betina berumur setahun dan memasuki kedua)
- 36 ekor unta zakatnya seekor bintu makhadh (anak unta betina berumur 2 tahun dan memasuki ketiga)
- 46 ekor unta zakatnya seekor bintu makhadh (anak unta betina berumur 3 tahun dan memasuki keempat)
- 61 ekor unta zakatnya seekor jadz’ah (anak unta berumur empat tahun dan memasuki kelima)
- 76 ekor unta zakatnya 2 ekor bintu labun
- 91 ekor unta zakatnya 2 ekor hiqqah.
Jika jumlah unta lebih dari 120 ekor, maka empat imam madzab berbeda pendapat. Hanafi: apabila lebih dari 120 ekor, dimulailah perhitungan baru. Sehingga jika mencapai 125 ekor maka zakatnya seekor domba dan 2 hiqqah; jika mencapai 145 ekor maka zakatnya 2 ekor hiqqah dan seekor bintu makhadh; bila mencapai 150 ekor zakatnya adalah 3 ekor hiqqah. Sesudah itu, zakatnya dimulai lagi dari perhitungan yang baru. Sehingga jika bertambah 5 ekor unta maka zakatnya menjadi seekor domba dan 3 ekor hiqqah; jika lebihnya 10 ekor maka zakatnya ditambah 2 ekor domba; jika lebihnya 15 ekor maka zakatnya ditambah 3 ekor domba. Jika lebihnya 20 ekor unta maka zakatnya ditambah 4 ekor domba; jika lebihnya 25 unta maka zakatnya ditambah seekor bintu makhadh; jika lebihnya 36 ekor maka zakatnya ditambah seekor bintu labun. Jika telah mencapai 36 ekor maka zakatnya ditambah seekor bintu labun. Jika telah mencapai 196-200 ekor maka tambahan zakatnya adalah 4 ekor hiqqah. Setelah itu dimulai lagi hitungan baru, dan seterusnya.
Syafi’i dan Hambali –dalam salah satu riwayatnya yang jelas- menyatakan: apabila telah mencapai 120 ekor berubahlah kadar penetapan zakatnya. Maka untuk penambahan 50 ekor unta zakatnya ditambah seekor hiqqah dan untuk penambahan 40 ekor unta zakatnya seekor bintu labun.
Maliki mempunyai dua pendapat: pendapat yang paling jelas menurut para ulama pengikutnya : apabila melebihi 120 ekor maka pengumpul boleh memilih, 3 ekor bintu labun atau 3 ekor hiqqah.
Empat imam madzab berbeda pendapat tentang bolehnya seseorang yang mempunyai 5 ekor unta mengeluarkan seekor dari unta yang dimilikinya. Hanafi dan Syafi’i: boleh. Maliki dan Hambali: tidak boleh.
Jika untanya berjumlah 25 ekor, tetapi ia tidak mempunyai bintu makhadh dan tidak pula memiliki bintu labun, dalam masalah ini menurut Maliki dan Hambali: wajib dibayar dengan bintu makhadh. Syafi’i: boleh memilih antara salah satu dari keduanya. hanafi: cukup dibayarkan dengan bintu makhadh atau senilai harganya.
Empat imam madzab sepakat bahwa hewan di tanah Arab, baik jantan maupun betina, sama saj (dalam ketentuan hukumnya). Mereka juga sepakat bahwa zakat itu dibayarkan dengan hewan yang kecil jika semuanya kecil dan dibayarkan dengan hewan yang sakit jika semuanya sakit. Hewan yang bunting, apabila telah melahirkan, boleh dibayarkan sebagai zakat jika keadaannya sudah pulih. Namun Maliki berpendapat: zakat itu dibayarkan dengan yang sehat jika sebagianny sakit dan dibayarkan dengan hewan yang besar jika sebagiannya kecil, dan hewan yang bunting tidak boleh dibayarkan sebagai zakat.
Empat imam madzab sepakat bahwa jumlah sapi yang kurang dari 30 ekor tidak wajib dizakati.
Ibn Musayyab berpendapt: wajib zakat atas setiap 5 ekor sapi dengan seekor domba hingga jumlah 30 ekor, sebagaimana unta.
Para imam madzab sepakat bahwa nisab awal sapi adalah 30 ekor dan zakatnya seekor tabi’ (anak sapi berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua). Jika jumlahnya mencapai 40 ekor maka zakatnya adalah seekor musinnah (anak sapi umur dua tahun dan memasuki tahun ketiga).
Syafi’i dan Hambali: zakat (atas jumlah tersebut) harus seekor musinnah hingga jumlah 59 ekor. Jika jumlahnya mencapai 60 ekor maka zakatnya adalah 2 ekor tabi’. Jika mencapai 70 ekor maka zakatnya adalah seekor tabi’ dan seekor musinnah. Demikian seterusnya, yaitu setiap penambahan 30 ekor maka zakatnya seekor tabi’ dan setiap penambahan 40 ekor maka zakatnya seekor musinnah.
Diriwayatkan bahwa pendapat Hanafi adalah seperti pendapat para ulama pengikutnya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan: setiap penambahan 40 sampai 60 ekor dengan hitungan tersebut maka untuk setiap seekor sapi zakatnya adalah seperempat puluh musinnah dan untuk dua ekor sapi zakatnya seperduapuluhnya.
Para imam madzab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam penghitungan zakatnya.
Para imam mujtahid sepakat bahwa nisab awal domba adalah 40 ekor dan zakatnya seekor. Penambahan dari jumlah tersebut hingga jumlah120 tidak ada penambahan zakat. Jika jumlahnya mencapai 121 ekor maka zakatnya 2 ekor. Jika jumlahnya 201 ekor maka zakatnya 3 ekor. Jika jumlahnya 400 ekor maka zakatnya adalah 4 ekor. Selanjutnya ditetapkan zakat untuk setiap penambahan 100 ekor. Domba dan kambing adalah sama dalam hukum zakat. Apabila seseorang mempunyai 20 ekor domba, lalu melahirkan 20 ekor anak domba, dalam hal ini Hanafi, Syafi’i dan Hambali –dalam salah satu pendapatnya- berpendapat: penghitungan zakatnya dimulai sejak saat mencapai nisab. Sementara itu, menurut Maliki dan Hambali –dalam riwayat lainnya: jika induknya telah dimiliki setahun maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang jumlah diantara dua nisab. Hanafi dan Hambali: dikeluarkan zakatnya yang sudah sampai senisab, sedangkan sisanya tidak. Maliki memiliki dua pendapat. Syafi’i juga memilii dua pendapat. Pendapat yang paling kuat sama dengan pendapat Hanafi dan Hambali.
Para imam madzab berbeda pendapat anak domba, anak kambing, dan anak sapi yang telah mencapai nisab, tetapi terpisah dari induknya. Apakah wajib zakat atasnya? Maliki, Syafi’i dan Hambali: wajib. Sedangkan menurut Hanafi: tidak wajib, serta tidak sah hitungan hawlnya dan tidak dapat menyempurnakan nisab induknya walaupun dengan seekor. Hambali juga memiliki pendapat seperti ini.
Empat imam madzab sepakat bahwa kuda yang diperdagangkan dan harganya mencapai nisab wajib dizakati. Sementara itu jika tidak diperdagangkan, menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: tidak wajib dizakati. Sedangkan Hanafi berpendapat: jika digembalakan wajib dizakati kalau kuda yang digembalakan itu jantan dan betina atau betina semua. Namun kalau kuda itu jantan semua maka tidak dizakati. Dalam hal ini, pemiliknya boleh memilih dalam membayar zakatnya. Jika mau ia bisa memberikan satu dinar untuk setiap ekor kuda atau ia menilai harga seluruh kudanya dan dikeluarkan lima dirham untuk setiap 200 dirham. Jika dibayarkan dengan uang berdasarkan penilaian harganya, hendaklah diperhatikan syarat hawl dan nisabnya. Sementara itu, jika dikeluarkan berdasarkan perhitungan, bukan penetuan harga, hendaklah dikeluarkan satu dinar untuk setiap seekor kuda jika mencapai hawl.
Mereka juga sepakat bahwa baghal (hasil kawin silang antara kuda dan keledai) dan keledai wajib dikeluarkan zakatnya jika diperdagangkan.
Hewan yang wajib dibayarkan dari zakat unta yang jumlahnya kurang dari 25 ekor adalah seekor domba. Sementara itu, jika pemilik membayarkan ba’ir (unta yang telah tumbuh gigi taringnya), meskipun tidak seharga seekor domba, dibolehkan. Namun Maliki berpendapat: ba’ir tidak bisa menggantikan kambing.
Orang yang wajib membayarkan bintu makhadh, tetapi ia membayarkan hiqqah, padahal ia tidak dipaksa, maka hal itu dapat dibenarkan. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab. Dawud berpendapat: tidak dapat dibenarkan, melainkan ia harus membayar apa yang telah ditentukan.
Domba yang wajib dibayarkan dalam setiap seratus ekor domba adalah anak domba atau kambing biasa yang berumur dua tahun. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Sedang menurut Hanafi: tidak boleh dengan anak domba kecuali yang berumur dua tahun. Maliki: tidak boleh dengan anak domba atau kambing yang baru berumur satu tahun, melainkan yang telah berumur dua tahun.
Apabila semua domba sakit maka tidak harus menccari yang sehat. Demikian menurut tiga imam madzab. Sedang menurut Maliki: tidak diterima zakatnya kecuali yang sehat.
Sah membayar zakat dengan hewan yang kecil jika semuanya kecil. Namun Maliki berpendapat: tidak boleh, melainkan harus dibayarkan dengan hewan yang besar.
Apabila hewan ternak itu betina semua atau campuran antara jantan dan betina, maka zakatnya harus betina. Akan tetapi untuk 25 ekor unta boleh dibayarkan zakatnya dengan seekor ibn labun jantan dan untuk 30 ekor dikeluarkan zakatnya seekor tabi’. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sementara itu, Hanafi berpendapat: boleh, domba jantan dibayarkan sebagai zakat.
Apabila seseorang mempunyai 20 ekor domba di suatu tempat dan 20 ekor domba di tempat lain, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya seekor domba. Demikian menurut tiga imam madzab. Namun Hambali berpendapat: jika kedua tempat itu jaraknya berjauhan maka ia tidak dikenai kewajiban zakat.
Percampuran berpengaruh terhadap wajib dan gugurnya zakat. Menurut Syafi’i dan Hambali: harta dua orang atau sekelompok orang dijadikan harta perorangan. Percampuran harta dua orang dizakati seperti zakat milik perorangan dengan syarat jumlah harta campuran itu telah mencapai nisab dan melewati hawl. Juga disyaratkan agar sebagian dari harta campuran itu tidak berbeda dari sebagian lain, yaitu harus sama tempat jalannya, tempat penggembalaannya, tempat istirahatnya, tempat memeras susunya, penggembalanya dan pejantannya.
Hanafi: percampuran itu tidak memberi pengaruh apapun. Jadi masing-masing pemilik wajib mengeluarkan zakatnya sebagaimana harta perorangan. Sedangkan Maliki: percampuran itu berpengaruh jika jumlah harta masing-masing telah mencapai nisab.
Apabila dua orang bersekutu dalam membeli sejumlah harta mencapai nisab, maka masing-masing tidak wajib membayar zakat. Demikian menurut pendapat Hanafi dan malik. Sementara itu, Syafi’i berpendapat: keduanya wajib membayar zakat. Bahkan kalau salah seorang hanya memiliki 40 ekor di antara seratus ekor domba, ia wajib membayar zakat.
Percampuran sesuatu selain hewan ternak, seperti benda berharga, biji-bijian, dan buah-buahan, dalam hal ini Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pendapat yang paling kuat dalam qaul jadid bahwa percampuran tersebut tetap berpengaruh, sebagaimana yang terjadi pada hewan ternak.
Sekian.