Sabtu, 27 Juli 2013

Ayat Al-Qur’an yang Terakhir Kali Diturunkan


‘Ulumul Qur’an; Ilmu Al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
1. Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba. Ini didasarkan pada hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas, yang mengatakan: “Ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba.” Yang dimaksud adalah firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba –yang belum dipungut-.” (al-Baqarah: 278)
2. Dan dikatakan pula bahwa ayat al-Qur’an yang terakhir diturunkan adalah firman Allah: “Dan peliharalah dirimu dari adzab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (al-Baqarah: 281)
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan lain-lain, dari Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair: “Ayat al-Qur’an terakhir kali turun adalah: ‘Dan peliharalah dirimu dari adzab yang terjadi pada suatu hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah…” (al-Baqarah: 281)
3. Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun ini ayat mengenai utang; berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab: “Telah sampai kepadanya bahwa ayat al-Qur’an yang paling muda di ‘Arsy ialah ayat mengenai utang.” Yang dimaksud adalah ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” (al-Baqarah: 282)
Ketiga riwayat ini dapat dipadukan, yaitu bahwa ketiga ayat tersebut di atas diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam mushaf. Ayat mengenai riba, ayat “pelihara dirimu dari adzab yang terjadi pada suatu hari” kemudian ayat mengenai utang, karena ayat-ayat itu masih satu kisah. Setiap perawi mengabarkan bahwa sebagian dari yang diturunkan itu sebagai yang terakhir kali. Dan itu memang benar. Dengan demikian, maka ketiga ayat itu tidak saling bertentangan.
4. Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat mengenai kalalah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Barra’ bin ‘Azib; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun adalah: “Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai kalalah, katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah…’” (an-Nisaa’: 176)
Ayat yang turun terakhir menurut hadits Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.
5. Pendapat lain menyatakan bahwa yang terakhir turun adalah firman Allah: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…” sampai akhir surah.
Dalam al-Mustadrak disebutkan, dari Ubai bin Ka’b yang mengatakan: “Ayat terakhir kali diturunkan: ‘Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…” (at-Taubah: 128-129) sampai akhir surah. Mungkin yang dimaksud adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surah at-Taubah. Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hadits ini memberitahukan bahwa surah ini adalah surah yang diturunkan terakhir kali, karena ayat ini mengisyaratkan wafatnya Nabi saw. sebagaimana dipahami oleh sebagian shahabat. Atau mungkin surah ini adalah surah yang terakhir kali diturunkan.
6. Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surah al-Maa-idah. Ini didasari pada riwayat Tirmidzi dan Hakim, dari ‘Aisyah ra. Tetapi pendapat Syekh Mannaa’ al-Qattaan, surah ini surah yang terakhir kali turun dalam hal halal dan haram, sehingga tak satu hukum pun yang dinasikh di dalamnya.
7. Juga dikatakan bahwa yang terakhir kali turun adalah firman Allah: “Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka: ‘Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.’” (Ali ‘Imraan: 195)
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui Mujahid, dari Ummu Salamah; dia berkata: “Ayat yang terakhir kali turun adalah ayat ini: “Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka: ‘Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.’” (Ali ‘Imraan: 195)
Hal itu disebabkan dia (Ummu Salamah) bertanya: Wahai Rasulallah, aku melihat Allah menyebutkan kaum lelaki akan tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan. Maka turunlah ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagain yang lain.” (an-Nisaa’: 32) dan turun pula: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim..” (al-Ahzab: 35) serta ayat ini: “Maka Tuhan mereka…” ayat ini adalah yang terakhir diturunkan yang di dalamnya tidak hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus.
Dalam riwayat itu jelaslah bahwa ayat tersebut yang terakhir turun di antara ketiga ayat di atas, dan yang terakhir yang turun dari ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kaum perempuan.
8. Ada juga dikatakan bahwa ayat terakhir yang turun adalah ayat: “Barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (an-Nisaa’: 93)
Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lain dari Ibn Abbas yang mengatakan: “Ayat ini [Barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah jahanam] adalah ayat yang terakhir diturunkan dan tidak dinasikh oleh apa pun.”
Ungkapan “ia tidak dinasikh oleh apa pun” itu menunjukkan bahwa ayat itu ayat yang terakhir turun dalam hal hukum membunuh seorang mukmin dengan sengaja.
9. Dari Ibn Abbas dikatakan: “Surah terakhir yang diturunkan ialah: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.”
Pendapat-pendapat ini semua tidak mengandung sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. masing-masing ijtihad dan dugaan. Mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberitahukan mengenai apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah saw. atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal ini berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surah terakhir yang diturunkan secara lengkap seperti setiap pendapat yang telah dikemukakan di atas.
Adapun firman Allah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu.” (al-Maa-idah: 3) maka ia diturunkan di Arafah tahun haji Perpisahan [Wada’]
Pada lahirnya, ia menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Telah pula diisyaratkan di atas, bahwa riwayat mengenai turunnya ayat riba, ayat utang-piutang, ayat kalaalah dan yang lain itu setelah ayat ketiga surah al-Maa’idah. Oleh karena itu, para ulama menyatakan kesempurnaan agama di dalam ayat ini. Allah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik daripadanya dan menghajikan mereka di rumah suci tanpa disertai oleh seorang musyrik pun; padahal sebelumnya orang-orang musyrik berhaji pula dengan mereka. Yang demikian itu termasuk nikmat yang sempurna. “dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku.”
Qadi Abu Bakar al-Baqalani dalam al-Intisaar ketika mengomentari berbagai riwayat mengenai yang terakhir kali diturunkan menyebutkan: “Pendapat-pendapat ini sama sekali tidak disandarkan kepada Nabi saw. Boleh jadi pendapat itu diucapkan orang karena ijtihad atau dugaan saja. mungkin masing-masing memberitahukan mengenai apa yang terakhir kali didengarnya dari Nabi saw. pada saat beliau wafat atau tak seberapa lama sebelum beliau sakit. Sedang yang lain mungkin tidak secara langsung mendengar dari Nabi saw. Mungkin juga ayat itu yang dibaca terakhir kali oleh Rasulullah saw. bersama-sama dengan ayat-ayat yang turun di waktu itu, sehingga disuruh untuk dituliskan sesudahnya, lalu dikiranya ayat itulah yang terakhir diturunkan menurut tertib urutannya.

KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN

Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Manna’ Khalil al-Qattan;
Alam yang luas dan dipenuhi makhluk-makhluk Allah ini; gunung-gunung yang menjulang tinggi, samudera yang melimpah, daratan yang luas, menjadi kecil di hadapan makhluk yang lemah, manusia. Itu semua disebabkan Allah telah menganugerahkan kepada makhluk manusia itu berbagai keistimewaan dan kelebihan serta memberinya kekuatan berfikir cemerlang yang dapat menembus segala medan untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan menjadikannya sebagai pelayan bagi kepentingan kemanusiaan.
Allah sama sekali tidak akan menelantarkan manusia, tanpa memberikannya wahyu, dari waktu ke waktu yang membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga mereka dapat menempuh liku-liku hidup ini atas dasar keterangan dan pengetahuan.
Namun watak manusia yang sombong dan angkuh terkadang menolak untuk tunduk kepada manusia lain yang serupa dengannya selama manusia lain itu tidak membawa kepadanya sesuatu yang tidak membawa kepadanya sesuatu yang tidak disanggupinya hingga ia mengakui, tunduk dan percaya akan kemampuan manusia lain itu yang tinggi di atas kemampuannya sendiri. Oleh karena itu Rasul-rasul Allah di samping diberi wahyu, mereka juga dibekali kekuatan dengan hal-hal yang luar biasa yang dapat menegakkan hujjah atas manusia sehingga mereka mengakui kelemahannya di hadapan hal-hal luar biasa tersebut serta tunduk dan taat kepadanya.
Namun mengingat akal manusia pada awal fase perkembangannya tidak melihat sesuatu yang lebih dapat menarik hati selain mukjizat-mukjizat alamiyah yang hissi (indrawi) karena akal mereka belum mencapai puncak ketinggian dalam bidang pengetahuan dan pemikiran, maka yang paling relevan adalah jika setiap Rasul itu hanya diutus kepada kaumnya secara khusus dan mukjizatnya pun hanya berupa sesuatu hal luar biasa yang sejenis dengan apa yang mereka kenal selama ini.
Hal demikian itu agar saat tidak mampu menandinginya, mereka segera tunduk dan percaya bahwa hal luar biasa itu datang dari “kekuatan langit”. Dan ketika akal mereka telah mencapai taraf sempurna maka Allah mengumandangkan risalah Muhammad saw yang abadi kepada seluruh umat manusia. Serta mukjizat bagi risalahnya juga berupa mukjizat yang ditujukan kepada akal manusia yang telah berada pada tingkat kematangan dan perkembangannya yang paling tinggi.
Bila dukungan Allah kepada Rasul-rasul terdahulu berbentuk ayat-ayat kauniyah yang memukau mata, dan tidak ada jalan bagi akal untuk menentangnya, seperti mukjizat tangan dan tongkat bagi Nabi Musa, dan penyembuhan orang buta serta menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin Allah bagi Nabi Isa, maka mukjizat Nabi Muhammad, pada masa kejayaan ilmu pengetahuan ini berbentuk mukjizat ‘aqliyah, mukjizat bersifat rasional, yang berdialog dengan akal manusia dan menantangnya untuk selamanya. Mukjizat tersebut adalah Al-Qur’an dengan segala ilmu dan pengetahuan yang dikandungnya serta tentang segala berita tentang masa lalu dan masa yang akan datang. Akal manusia betapapun majunya, tidak akan sanggup menandingi Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah ayat kauniyah yang tiada bandingnya. Kelemahan aka yang bersifat kekurangan substantif ini merupakan pengakuan akal itu sendiri bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya dan sangat diperlukan untuk dijadikan pedoman dan pembimbing. Itulah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah dengan sabdanya:
“Tiada seorang nabipun kecuali diberi mukjizat yang dapat membuat manusia beriman kepadanya. Namun apa yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku. Karena itu aku berharap semoga kiranya aku menjadi Nabi paling banyak pengikutnya.”
Demikianlah. Allah telah menentukan keabadian mukjizat Islam sehingga kemampuan manusia menjadi tak berdaya menandinginya, padahal waktu yang tersedia cukup panjang dan ilmu pengetahuan pun telah maju pesat.
Pembicaraan tentang kemukjizatan Al-Qur’an juga merupakan satu macam mukjizat tersendiri, yang di dalamnya para penyelidik tidak bisa mencapai rahasia satu sisi daripada sampai ia mendapatkan di balik sisi itu sisi-sisi lain yang akan disingkapkan kemukjizatannya oleh zaman. Persis sebagaimana dikatakan oleh ar-Rafi’: “Betapa serupa (bentuk pembicaraan) Qur’an, dalam susunan kemukjizatannya dan kemukjizatan susunannya dengan sistem yang alam, yang dikerumuni oleh para ulama dari segala arah serta diliputi dari segala sisinya. Segala sisi itu mereka jadikan obyek kajian dan penyelidikan, namun bagi mereka ia senantiasa tetap menjadi makhluk baru dan tempat tujuan yang jauh.”

Ayat Al-Qur’an yang Pertama Kali Turun (2)

‘Ulumul Qur’an; Ilmu-ilmu al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan

Az-Zarkasyi telah menyebutkan dalam kitabnya “al-Burhan”, hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah “iqra’ bismirabbikal ladzii khalaq.” Dan hadits Jabir yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah “Yaa ayyuHal muddatstsir, qum fa andzir.” Kemudian ia berkata: “Sebagian ulama menyatukan keduanya, yaitu bahwa Jabir mendengar Nabi menyebutkan kisah permulaan wahyu dan dia mendengar bagian akhirnya, sedang bagian pertamanya dia tidak mendengar. Maka dia (Jabir) menyangka bahwa surah yang didengarnya itu adalah yang pertama kali diturunkan, padahal bukan. Memang surah al-Muddatstsir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah surah “iqra’” dan setelah terhentinya wahyu. Hal itu juga termuat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. di kala itu sedang membicarakan masalah terhentinya wahyu.
Dalam hadits itu dikatakan: “Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu kuangkat kepalaku, tiba-tiba yang datang kepadaku malaikat yang kulihat ketika aku di gua Hira duduk di atas kursi yang terletak antara langit dan bumi, sehingga akupun merasa ketakutan sekali. Kemudian akupun pulang dan aku berkata: ‘Selimuti aku, selimuti aku.’ Lalu Allah menurunkan: wahai orang yang berselimut, bangkitlah, lalu berilah peringatan.’”
Dalam hadits ini ia memberitahukan tentang malaikat yang datang kepadanya di gua Hira sebelum saat itu. Di dalam hadits Aisyah ia memberitahukan bahwa turunnya Iqra’ itu di gua Hira, dan bahwa Iqra’ itulah wahyu pertama yang turun. Kemudian setelah itu wahyu terhenti. Sedang dalam hadits Jabir ia memberitahukan bahwa wahyu berlangsung kembali setelah turunnya “Yaa ayyuHal muddatstsir.”
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa “Iqra’” adalah wahyu yang pertama kali diturunkan secara mutlak, dan bahwa “Muddatstsir diturunkan sesudah Iqra’.
Demikian juga Ibn Hibban mengatakan dalam shahihnya: “Di antara kedua hadits itu tidak ada pertentangan. Sebab yang pertama kali diturunkan adalah “iqra’ bismirabbikal ladzii khalaq” di gua Hira. Ketika kembali kepada Khadijah ra. dan Khadijah menyiramkan air dingin kepadanya, Allah menurunkan kepadanya di rumah Khadijah itu: “Yaa ayyuHal muddatstsir.” Maka jelaslah bahwa ketika turun kepada beliau “iqra’”, ia pulang lalu berselimut; kemudian Allah menurunkan “Yaa ayyuHal muddatstsir.”
Juga ada dikatakan bahwa yang pertama kali turun adalah surah al-Fatihah. Hadits yang menunjukkan hal ini diriwayatkan melalui Abu Ishaq dari Abu Maisarah, dia berkata: “Rasulullah saw. mendengar suara, ia berdiri. Ia menyebutkan turunnya malaikat kepadanya serta kata-kata malaikat itu: ‘Katakanlah: Alhamdu lillaaHi rabbil ‘aalamiin…’ dan seterusnya.
Qadi Abu Bakar dalam kitabnya “al-Intisaar” mengatakan bahwa hadits ini munqathi’. Maka tetap kuatlah pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun ialah iqra bismirabbik, dan sesudah itu pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama turun itu adalah surah al-Muddatstsir. Cara menyatukan pendapat-pendapat di atas bahwa ayat pertama kali yang turun adalah “iqra’ bismirabbik” dan ayat mengenai perintah tabligh (untuk menyampaikan) yang pertama kali turun ialah “Yaa ayyuHal muddatstsir” sedang surah yang pertama kali turun adalah al-Fatihah. Hal yang demikian itu seperti apa yang termuat dalam hadits:
“Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba ialah shalat.” Dan “Yang pertama kali diputuskan mengenai seorang hamba adalah urusan darah.”
Pernyataan kedua hadits ini adalah: “Yang pertama kali seorang hamba diadili dalam hal kedzaliman yang terjadi sesama hamba adalah urusan darah; sedang pertama kali dihisab dari seorang hamba dalam hal kewajiban-kewajiban badaniah adalah shalat.”
Juga dikatakan bahwa yang pertama kali turun mengenai kerasulan adalah “Yaa ayyuHal muddatstsir.” Dan yang pertama kali turun mengenai kenabian adalah “iqra’ bismirabbik.” Hal itu disebabkan para ulama mengatakan bahwa firman Allah “iqra’ bismirabbik” itu menunjukkan kenabian Muhammad saw. sebab kenabian itu ialah adanya wahyu kepada seseorang melalui perantaraan malaikat dengan penugasan khusus. Sedang firman Allah “Yaa ayyuHal muddatstsir, qum fa andzir” itu menunjukkan kerasulannya, sebab kerasulan itu adalah wahyu kepada seseorang dengan perantaraan malaikat dengan penugasan umum.
Sekian.

Ayat Al-Qur’an yang Pertama Kali Turun (1)

‘Ulumul Qur’an; Ilmu-ilmu al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
Ungkapan bahwa Rasulullah saw. menerima Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya itu mengesankan suatu kekuatan yang dipegang seseorang dalam menggambarkan segala yang turun dari tempat yang lebih tinggi. Hal itu karena tingginya kedudukan al-Qur’an dan agungnya ajaran-ajarannya yang dapat merubah perjalanan hidup umat manusia, menghubungkan langit dengan bumi, dan dunia dengan akhirat.
Pengetahuan mengenai sejarah perundang-undangan Islam dari sumber pertama dan pokok –yaitu al-Qur’an- akan memberikan kepada kita gambaran mengenai pentahapan hukum dan penyesuaiannya dengan keadaan tempat hukum itu diturunkan, tanpa adanya kontradiktif antara yang lalu dengan yang akan datang. Hal demikian memerlukan pembahasan mengenai apa yang pertama kali turun dan apa yang terakhir kali turun. Hal itu memerlukan pembahasan mengenai segala perundang-undangan ajaran-ajaran Islam, seperti makanan, minuman, peperangan dan lain sebagainya.
Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun ialah firman Allah:
“Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mu lebih Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5)
Pendapat ini didasarkan kepada suatu hadits yang diriwayatkan oleh dua syaikh ahli hadits dan yang lainnya, dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Sesungguhnya yang mula-mula terjadi bagi Rasulullah saw. adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Dia melihat dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang ke Khadijah ra. maka Khadijah pun membekalinya dengan bekal seperti terdahulu.
Di gua Hira beliau dikejutkan oleh suatu kebenaran. Seorang malaikat datang kepadanya dan mengatakan: “Bacalah.” Rasulullah menceritakan: maka akupun menjawab: “Aku tidak pandai membaca.” Malaikat itu kemudian memelukku sehingga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi: “Bacalah.” Maka akupun menjawab: “Aku tidak pandai membaca.” Lalu ia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian ia melepaskan lagi dan berkata: “Bacalah.” Aku menjawab: “Aku tidak pandai membaca.” Maka ia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata: “Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang telah menciptakan….” sampai dengan “apa yang tidak diketahuinya.” (Hadits)
Dikatakan pula bahwa yang pertama kali turun adalah firman Allah: Yaa ayyuHal muddatstsir (wahai orang yang berselimut), ini didasarkan pada hadits: Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata: Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: “Yang manakah di antara al-Qur’an itu yang turun pertama kali?” dia menjawab: “Yaa ayyuHal muddtatstsir.” Aku bertanya lagi: “Ataukah iqra’ bismirabbik?” Ia menjawab: “Aku katakan kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah saw. kepada kami: “Sesungguhnya aku berdiam diri di gua Hira. Maka ketika habis masa diamku, lalu aku turun dan aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku melihat ke langit, tiba-tiba aku melihat Jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke Khadijah. Khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimuti aku. Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: “Wahai orang yang berselimut. Bangkitlah, lalu berilah peringatan.”
Mengenai hadits Jabir ini dapatlah dijelaskan bahwa pertanyaan itu mengenai surah yang diturunkan secara penuh. Jabir menjelaskan bahwa surah Muddatstsir-lah yang diturunkan secara penuh sebelum surah Iqra’ selesai diturunkan, karena yang turun pertama sekali dari surah Iqra’ hanyalah permulaannya saja. hal yang demikian itu juga diperkuat oleh hadits Abu Salamah dari Jabir yang terdapat dalam shahih Bukhari dan Muslim. Jabir berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah saw. ketika ia berbicara mengenai terputusnya wahyu, maka katanya dalam pembicaraan itu: ‘Ketika aku berjalan, aku mendengar suara dari langit. Lalu aku angkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat malaikat yang mendatangi aku di gua Hira itu duduk di atas kursi antara langit dan bumi, lalu aku pulang dan aku katakan: Selimuti aku! Mereka pun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan: Yaa ayyuHal muddatstsir.’”
Hadits itu menunjukkan bahwa kisah tersebut lebih kemudian daripada kisah di gua Hira, atau Muddatstsir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir telah mengeluarkan yang demikian itu dengan ijtihadnya, akan tetapi riwayat Aisyah lebih mendahuluinya. Dengan demikian, maka ayat al-Qur’an yang pertama kali turun secara mutlak ialah “iqra’” dan surah pertama kali yang diturunkan setelah terhentinya wahyu ialah “Yaa ayyuHal muddatstsir.” Dan surah pertama kali yang turun untuk risalah ialah “Yaa ayyuHal muddatstsir” dan untuk kenabiannya adalah “iqra’”.
Dikatakan pula bahwa yang pertama kali turun adalah surah al-Fatihah. Mungkin yang dimanksud adalah surah yang pertama kali turun secara lengkap.
Disebutkan juga bahwa yang pertama kali turun adalah “bismillaaHir rahmaanir rahiim”. Karena bismillaaH itu turun mendahului setiap surah. Dalil-dalil kedua pendapat di atas hadits-hadits mursal. Pendapat pertama didukung oleh hadits Aisyah itulah pendapat yang kuat dan masyhur.
(bersambung ke bagian 2)

Keraguan Orang yang Ingkar terhadap Wahyu (4)

‘Ulumul Qur’an; Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan

Orang dapat menanyakan kepada mereka yang menyangka bahwa Muhammad saw. diajar oleh seorang manusia; siapa nama gurunya itu? Ketika itu juga kita akan mendengar jawaban yang kacau balau yang mereka reka-reka, bahwa gurunya adalah seorang “pandai besi Romawi.” Bagaimana dapat diterima akal bila ilmu-ilmu al-Qur’an itu datangnya dari orang yang tidak dikenal oleh Makkah sebagai orang yang pandai dan mendalami kitab-kitab? Bahkan hanya seorang pandai besi yang sehari-harinya hanya menekuni palu dan landasan besi, orang awam dengan lidah asing, yang dalam bacaannya dalam bahasa Arab pun hanya mericau saja.
“…Sesungguhnya al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan bahwa Muhammad itu belajar kepadanya bahasa asing, sedangkan al-Qur’an dalam bahasa Arab yang jelas.” (an-Nahl: 103)
Orang-orang Arab sebenarnya ingin sekali menolak al-Qur’an karena dendam mereka kepada Muhammad, tetapi mereka tidak sanggup, tidak menemukan jalan dan usaha mereka menjadi sia-sia. Lalu kenapa orang-orang atheis sekarang ini mencari-cari jalan dalam bekas-bekas sejarah, sekalipun kegagalan itu telah berlalu tiga belas abad lebih? Dengan ini jelaslah bahwa al-Qur’an tidak mengandung unsur manusia, baik oleh pembawanya atau orang lain. Ia diturunkan oleh Rabb Yang Mahabijaksana dan Mahaterpuji.
Pertumbuhan Rasulullah saw. di lingkungan yang buta huruf dan jahiliyah, dan perilakunya di tengah-tengah kaumnya itu merupakan bukti yang kuat bahwa Allah telah mempersiapkannya untuk membawa risalah-Nya. Allah mewahyukan kepadanya al-Qur’an ini untuk menjadi petunjuk bagi umatnya.
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (yaitu) jalan Allah yang Kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (asy-Syuura: 52-53)
Al-Ustadz Muhammad Abduh dalam Risaalatut Tauhiid berkata: “Di antara tradisi yang dikenal adalah bahwa seorang yatim yang fakir dan buta huruf seperti dia, jiwanya akan diwarnai oleh apa yang dilihatnya sejak awal pertumbuhan sampai masa tuanya, serta akalnyapun akan terpengaruh oleh apa yang didengar dari orang-orang yang bergaul dengannya, terutama apabila mereka kerabat dan satu suku. Sementara itu dia tidak memiliki kitab yang dapat memberinya petunjuk, tidak pula guru dan penolong yang akan memberi pelajaran dan melindunginya. Seandainya tradisi berjalan seperti biasa, tentulah dia akan tumbuh dalam kepercayaan mereka dan mengikuti aliran mereka pula hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, barulah ia berfikir dan mempertimbangkan, lalu menentang mereka, bila ada dalil yang menunjukkan kepadanya atas kesesatan mereka. Hal serupa itu pula telah dilakukan oleh beberapa orang yang semasa dengan dia.
Tetapi keadaannya tidak demikian. Sejak kecil ia sudah membenci penyembahan berhala. Dia dibimbing oleh akidah yang bersih dan akhlak yang baik. Firman Allah: “Dia (Allah) mendapati engkau sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberinya petunjuk.” (adl-Dluhaa: 7). Ayat ini tidak memberi pengertian bahwa dia berada dalam penyembahan berhala sebelum mendapat petunjuk tauhid, atau berada di jalan yang tidak lurus sebelum berakhlak yang agung. Tetapi yang dimaksud adalah kebingungan yang mencekam hati orang-orang yang ikhlash, yang mengharapkan keselamatan bagi umat manusia, mencari jalan keluar dari kehancuran dan mencari petunjuk dari kesesatan. Dan Allah telah memberi petunjuk kepada Nabi-Nya atas apa yang dicarinya dengan dipilihnya dia untuk menyampaikan risalah-Nya serta menentukan syariat-Nya.
Kesesatan Ahli Ilmu Kalam
Para ahli ilmu kalam telah tenggelam dalam cara-cara para filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian: kalam nafsi yang kekal yang ada pada dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa; dan kalam lafzi (verbal), yaitu yang diturunkan kepada para nabi. Yang di antaranya adalah empat buah kitab. Para ahli ilmu kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan: apakah al-Qur’an dalam pengertian kalam lafzi, makhluk atau bukan? Mereka memperkuat pendapat bahwa al-Qur’an dalam pengertian kalam lafzi di atas adalah makhluk. Dengan demikian, mereka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nashnya dalam kitab dan sunnah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah dengan analisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.
Sedang madzab ahlus sunnah wal jama’ah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. dalam hadits shahih yang datang dari Nabi. Bagi kita sudah cukup dengan beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat di antara sekian banyak sifat Allah. Allah berfirman: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (an-Nisaa’: 164). Demikian pula al-Qur’anul Karim –wahyu yang diturunkan kepada Muhhammad- adalah kalamullah, bukan makhluk, sebagaimana tafsir dalam ayat: “Jika orang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, lindungilah dia, supaya dia sempat mendengar kalam Allah.” (at-Taubah: 6)
Penetapan mengenai apa yang dinisbahkan oleh Allah sendiri atau oleh Rasulullah, sekalipun sifat itu juga ditetapkan pada hamba-hamba Allah, tidaklah mengurangi kesempurnaan kesucian-Nya dan tidak membuat-Nya serupa dengan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian kesamaan dalam nama itu tidak mengharuskan kesamaan dalam apa yang dikandung oleh nama itu. Amat berbeda antara Khalik dengan makhluk dalam hal dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Dzat Khalik adalah Mahasempurna, sifat-Nya paling tinggi dan perbuatan-Nya pun paling sempurna dan tinggi. Apabila kalam itu merupakan sifat kesempurnaan makhluk, bagaimana sifat ini ditiadakan dari Khalik? Kita menerima apa yang diterima oleh para shahbat Rasulullah saw., para ulama tabi’in, para ahli hadits dan fiqih yang hidup pada masa-masa yang dinyatakan baik, sebelum lahir semacam bidat (bid’ah) para ahli ilmu kalam. Kita beriman kepada apa yang datang dari Allah atau sahih dari Rasulullah mengenai sifat-sifat dan perbuatan Allah, baik yang ditetapkan ataupun tidak, tanpa dikurangi, diserupakan, dimisalkan ataupun ditakwilkan. Kita tidak berhak menetapkan pendapat kita sendiri mengenai hakekat dzat Allah ataupun sifat-sifat-Nya.
“Tiada apa pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (asy-Syuura: 11)

Keraguan Orang yang Ingkar terhadap Wahyu (3)

‘Ulumul Qur’an; Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
Dan ditambah pula, bahwa al-Qur’anul Karim telah menceritakan tentang Rasulullah bahwa dia hanyalah mengikuti wahyu.
“dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku…” (al-A’raf: 203)
Dan bahwa dia adalah manusia yang tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak pula berkuasa atas dirinya sedikitpun.
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. (al-Kahfi: 110)
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (al-A’raf: 188)
Rasulullah saw. tidak sanggup memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang yang berselisih yang datang menghadapnya untuk meminta keputusan, meskipun dia mendengarkan kata-kata mereka berdua. Maka tentu saja dia tidak sanggup untuk mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.
Rasulullah saw. telah mendengar suatu perselisihan yang terjadi di dekat pintu kamar beliau. Beliau mendatanginya dan berkata: “Aku hanya seorang manusia; sedang kamu meminta kepadaku untuk diadili. Mungkin salah satu pihak dari kamu akan lebih baik dalam menyampaikan alasan, sehingga aku mengira bahwa dialah yang benar, lalu aku memutuskan hal itu dengan memenangkannya. Yang kuputuskan dengan memberikan kemenangan kepadanya dari hak seorang Muslim itu adalah sepotong api neraka. Dia boleh mengambilnya dan boleh pula meninggalkannya.”
Dr. Muhammad Abdullah Daraz mengatakan: “Pendapat inilah yang diramaikan oleh orang-orang atheis masa kini dengan nama wahyu nafsi. Mereka mengira bahwa dengan nama ini mereka telah memberikan kepada kita pendapat baru yang ilmiah. Tetapi sebenarnya hal ini tidaklah baru; itu adalah pendapat jahiliyah kuno; tidak berbeda sedikitpun baik dalam garis besarnya maupun dalam perinciannya. Mereka melukiskan Nabi saw. sebagai seorang lelaki yang mempunyai imajinasi yang luas dan perasaan yang dalam, maka dari itu beliau adalah seorang penyair.
Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya mengalahkan inderanya, sehingga ia berkhayal bahwa ia melihat dan mendengar seseorang berbicara kepadanya. Apa yang dilihat dan didengarnya itu tidak lain daripada gambaran khayal dan perasaannya sendiri saja. Yang demikian itu suatu kegilaan dan ilusi. Namun mereka tidak bisa berlama-lama mempertahankan alasan ini. Mereka terpaksa harus meninggalkan istilah “gerak hati” (al-wahyun nafsi) itu, ketika mereka melihat bahwa di dalam al-Qur’an itu terdapat segi berita, baik berita masa lalu maupun berita masa datang. Mereka mengatakan: mungkin berita-berita itu dia peroleh dari para ahli ketika ia pergi berdagang. Dengan demikian berarti dia diajar oleh seorang manusia. Jadi manakah yang baru dalam pendapat ini semua? Bukankah semua itu hanyalah omongan yang menyerupai omongan kaum jahiliyah Quraisy? Demikianlah, atheisme dalam pakaiannya yang baru itu mempunyai bentuk yang kotor, bahkan amat kotor. Dan itulah yang menjadi sumber segala gagasan yang sudah “maju” di masa kini. Padahal ia hanyalah sisa-sisa hidangan yang diwariskan oleh hati yang sudah membatu di masa jahiliyah pertama. “….demikianlah orang-orang yang sebelum mereka berkata, persis seperti perkataan mereka. Memang hati mereka itu serupa…” (al-Baqarah: 118)
Namun demikian, kalau ada orang yang merasa heran, yang lebih mengherankan adalah kata-kata mereka yang menyebutkan bahwa dia (Muhammad) adalah orang jujur dan terpercaya, dan bahwa dia beralasan menisbahkan apa yang dilihatnya sebagai wahyu ilahi. Dia tidak mau menjadi saksi kecuali apa yang dilihatnya. Demikianlah Allah menceritakan kepada kita tentang pendahulu-pendahulu mereka. “Sebenarnya mereka bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (al-An’am: 33)
Apabila alasan ini Rasulullah dalam menyatakan apa yang dilihat dan didengarnya, maka apakah alasannya dalam pengakuannya bahwa dia tidak mengetahui berita-berita itu, juga tidak kaumnya sebelum itu; sedang menurut sangkaan mereka dia telah mendengarnya sebelumnya? Dengan demikian, mereka hendak mengatakan bahwa dia mengada-ada, agar tuduhan mereka itu sempurna. Tetapi mereka tidak mau menyatakan kata-kata itu, sebab mereka mendakwakan diri mereka sendiri sebagai orang-orangg yang obyektif dan bijaksana. Ingatlah, sebenarnya mereka telah mengatakan tetapi mereka tidak merasa.
Orang-orang jahiliyah dahulu dan sekarang menyangka bahwa Muhammad telah menerima ilmu-ilmu al-Qur’an dari seorang guru. Yang demikian itu adalah benar, akan tetapi guru yang menyampaikan al-Qur’an itu adalah malaikat wahyu; dan bukannya guru dari golongannya dan golongan lain.
Muhammad saw. tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorangpun di antara mereka yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan. Bahwa dia mempunyai guru yang bukan dari masyarakatnya sendiri, dalam sejarah tidak ada kalangan peneliti yang dapat memberikan kata sepakat yang patut dijadikan saksi, bahwa Muhammad telah menemui seorang ulama yang mengajarkan agama kepadanya sebelum ia menyatakan kenabiannya.
Memang benar bahwa di masa kecil ia pernah bertemu dengan Bahira yang Rahib itu di pasar Busra di Syam; dan di Makkah bertemu dengan Waraqah bin Naufal setelah wahyu turun kepadanya; dan setelah hijrah ia bertemu dengan ulama-ulama Nasrani dan Yahudi. Tetapi yang pasti dia tidak pernah mengadakan pembicaraan dengan mereka, sebelum ia menjadi nabi, merekalah yang bertanya kepadanya untuk dijadikan bahan perdebatan, sehingga mereka yang mengambil manfaat dan belajar dari beliau. Dan sekiranya Rasulullah saw. yang belajar, sedikitpun dari salah seorang di antara mereka, sejarah tidak akan tinggal diam, sebab dia tidak ada perangainya yang buruk yang diremehkan orang, terutama oleh mereka yang memang menentang Islam. Dan apa yang disebutkan dalam sejarah mengenai rahib dari Syam atau Waraqah bin Naufal merupakan sambutan gembira tentang kenabiannya atau sebagai pengakuan.
(bersambung ke bagian 4)

Keraguan Orang yang Ingkar terhadap Wahyu (2)

‘Ulumul Qur’an; Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
Apakah yang sebenarnya didasarkan pada kecerdasan, penalaran dan perasaan di dalam Al-Qur’an itu? Segi berita yang merupakan bagian terbesar dalam al-Qur’an tidak diragukan lagi oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya pada penerimaan dan pengajaran. Al-Qur’an telah menyebutkan berita-berita tentang umat terdahulu, golongan-golongan dan peristiwa-peristiwa sejarah dengan kejadian-kejadiannya yang benar dan cermat, seperti halnya yang disebutkan oleh saksi mata, sekalipun masa yang dilalui oleh sejarah itu sudah amat jauh, bahkan sampai pada kejadian pertama alam semesta ini. Hal demikian itu tentu tidak memberikan tempat bagi penggunaan pikiran dan kecermatan firasat. Sedang Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan peristiwa-peristiwa di atas dengan segala macam kurun waktunya sehingga beliau dapat menyaksikan kejadian-kejadian itu dan menyampaikan beritanya. Demikian pula beliau tidak mewarisi ktiab-kitabnya untuk dipelajari secara rinci dan kemudian menyampaikan beritanya.
“Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu Termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah Mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan Tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, te- tapi Kami telah mengutus rasul-rasul.” (al-Qasash: 44-45)
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Huud: 49)
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya adalah Termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Yusuf: 3)
“yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (Ali ‘Imraan: 44)
Dan di antaranya ialah berita-berita yang cermat mengenai angka-angka hitungan yang tidak diketahui kecuali oleh orang terpelajar yang sudah sangat luas pengetahuannya. Di dalam kisah Nuh:
“dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (al-Ankabut: 14)
Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam Kitab Kejadian di dalam Taurat. Dan dalam kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua):
“dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (al-Kahfi: 25)
Hitungan itu menurut ahli kitab adalah tiga ratus tahun matahari. Sedangkan sembilan tahun yang disebutkan di atas ialah perbedaan perhitungan antara tahun matahari dengan tahun bulan. Darimanakah Muhammad memperoleh angka-angka yang benar ini, seandainya bukan karena wahyu yang diberikan kepadanya, sebab dia adalah seorang buta huruf yang hidup di kalangan bangsa yang buta huruf pula, tidak tahu tulis-menulis dan berhitung? Orang-orang jahiliyah lama lebih pintar dalam menentang Muhammad daripada orang-orang jahiliyah zaman modern. Sebab orang jahiliyah lama itu tidak mengatakan bahwa Muhammad mendapat berita itu dari kesadaran dirinya seperti dikatakan orang-orang jahiliyah modern; tetapi mereka mengatakan bahwa Muhammad mempelajari berita itu dan kemudian dituliskan:
“Dan mereka berkata: ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” (al-Furqaan: 5)
Muhammad tidak menerima pelajaran dari seorang guru pun, jadi darimanakah berita-berita ini datang kepadanya secara seketika di waktu usianya telah empat puluh tahun?
“Apakah yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm: 4)
Demikianlah mengenai segi berita dalam al-Qur’an. Adapun ilmu-ilmu lain yang ada di dalamnya, mengandung perkara-perkara yang begitu rinci tentang permulaan makhluk dan kesudahannya, kehidupan akhirat dan apa yang ada di dalamnya seperti surga dengan segala kenikmatannya, neraka dengan segala azabnya dan lain sebagainya, seperti malaikat dengan segala sifat dan pekerjaannya. Pengetahuan ini tidaklah memberikan tempat bagi kecerdasan akal dan kekuatan firasat semata.
“dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari Malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk Jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya….” (al-Muddatsir: 31)
“tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (Yunus: 37)
Begitu juga ketentuan-ketentuan yang memberi keputusan tentang beria-berita yang akan datang yang berlaku pada sunnatullah yang bersifat sosial mengenai kekuatan dan kelemahan, naik dan turun, mulia dan hina, bangun dan runtuh yang terdapat dalam al-Qur’an.
“dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku..” (an-Nuur: 55)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40-41)
“yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (al-Anfaal: 53)
(bersambung ke bagian 3)

Keraguan Orang yang Ingkar terhadap Wahyu (1)

‘Ulumul Qur’an; Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
Orang-orang jahiliyah baik yang lama maupun yang modern selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu sangat lemah dan tidak dapat diterima.
Mereka mengira bahwa Qur’an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan dia sendiri pula yang menyusun “bentuk gaya bahasanya”; Qur’an bukan wahyu. Ini adalah sangkaan yang bathil. Apabila Rasulullah saw. menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu ia menisbahkan semua itu kepada pihak lain. Dapat juga menisbahkan Qur’an kepada dirinya sendiri, karena hal itu sudah cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia tunduk terhadap kekuasaannya. Sebab kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan dan retorikanya tidak juga mampu menjawab tantangan itu. Bahkan mungkin ini lebih mendorong mereka untuk menerima kekuasaannya, karena dia juga salah seorang dari mereka yang dapat mendatangkan apa yang mereka tidak sanggupi.
Tidak pula dapat dikatakan bahwa dengan menisbahkan Qur’an kepada wahyu ilahi, ia menginginkan untuk menjadikan kata-katanya terhormat sehingga dengan itu ia memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti perintah-perintahnya. Sebab dia juga mengeluarkan kata-kata yang dinisbahkan kepada pribadi, yaitu yang dinamakan hadits nabawi, yang juga wajib ditaati. Seandainya benar apa yang mereka tuduhkan, tentu kata-katanya akan dijadikannya sebagai kalam Allah Ta’ala.
Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah saw. termasuk pemimpin yang menempuh cara-cara dusta dan palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan ini ditolak oleh kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah saw., kejujuran dan kepercayaannya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawannya sendiri.
Orang-orang munafik menuduh istrinya, Aisyah, dengan tuduhan yang bohong, padakah Aisyah seorang istri yang sangat dicintainya. Tuduhan yang demikian itu menyinggung kehormatan dan kemuliaannya. Sedang wahyupun datang terlambat, Rasulullah dan para shahabatnya merasa sedih sekali. Beliau berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk meneliti dan memusyawarahkannya. Dan satu bulan pun telah berlalu, akan tetapi akhirnya beliau hanya bisa mengatakan kepadanya: “Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apabila engkau benar-benar bersih, maka Allah akan membersihkanmu. Dan apabila engkau telah berbuat dosa, mohon ampunlah engkau kepada Allah.”
Keadaan berlangsung demikian, hingga turunlah wahyu yang menyatakan kebersihan istrinya itu. Maka apakah yang menghalanginya untuk mengatakan kalimat yang dapat mematahkan para penuduh itu dan melindungi kehormatannya, seandainya Qur’an kata-katanya sendiri. Tetapi dia tidak mau berdusta kepada manusia dan juga tidak mau berdusta kepada Allah.
“Seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Haqqah: 44-47)
Ada segolongan orang yang meminta izin untuk tidak ikut berperang di Tabuk. Mereka mengajukan alasan. Di antara mereka terdapat orang-orang munafik yang sengaja mencari-cari alasan. Nabi mengizinkan mereka. Maka turunlah wahyu Qur’an mencela dan mempersalahkan tindakannya itu.
“Semoga Allah mema’afkanmu. mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (at-Taubah: 43)
Seandainya teguran itu datang dari perasaannya sendiri dengan menyatakan penyesalannya ketika ternyata pendapat itu salah, tentulah teguran yang begitu keras itu tidak akan diungkapkannya. Begitu pula teguran kepadanya karena ia menerima tebusan tawanan perang Badar:
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (al-Anfaal: 67-68)
Begitu juga adanya teguran karena berpaling dari ‘Abdullah bin Umm Maktum ra. yang buta, karena menekuni salah seorang pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam:
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya, tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), Maka kamu mengabaikannya. sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,” (‘Abasa: 1-11)
Yang dikenal dalam peri kehidupan Rasulullah saw. adalah bahwa dia sejak kecil merupakan teladan yang khas dalam hal budi pekerti yang baik, perilaku yang mulia, ucapan yang benar dan kejujuran dalam kata dan perbuatan. Masyarakatnya sendiripun telah menyaksikan itu semua ketika ia mengajak mereka pada permulaan dakwah. Ia berkata kepada mereka: “Bagaimana pendapat kalian sekiranya aku beritahu kepadamu bahwa pasukan berkuda di balik gunung ini akan menyerangmu, percayakah kalian kepadaku?” Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah melihat engkau berdusta.”
Perikehidupan yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk masuk Islam. Dari ‘Abdullah bin Sallam ra. ia berkata: Ketika Rasulullah saw. datang ke Madinah, orang-orang mengerumuninya. Mereka mengatakan: “Rasulullah sudah datang, Rasulullah sudah datang.” Lalu aku datang ke dalam kerumunan orang banyak itu dan melihatnya. Ketika aku melihat wajah Rasulullah saw. tahulah aku bahwa wajahnya itu bukanlah wajah pendusta.”
Orang yang memiliki sifat-sifat agung yang dihiasi oleh tanda-tanda kejujuran tidak pantas diragukan ucapannya ketika ia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah yang membuat al-Qur’an.
“Katakanlah: ‘Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali wahyu yang diwahyukan kepadaku.’” (Yunus: 15)
Orang-orang jahiliyah dulu dan sekarang menyangka bahwa Rasulullah saw. mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kekuatan filsafat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran-ukuran yang baik dan ukuran-ukuran yang buruk, benar dan salah melalui ilham (inspirasi), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf, sehingga al-Qur’an itu tidak lain daripada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retorikanya.
(bersambung ke bagian 2)

Manfaat dan Cara Mengetahui Makkiyyah dan Madaniyyah

‘Ulumul Qur’an; Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
1. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafaz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
2. Meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makkiyyah dan Madaniyyah dalam al-Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai fikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada di dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara al-Qur’an menyeru berbagai golongan: orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan ahli kitab.
3. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat al-Qur’an, sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah saw. sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik pada periode Makkah maupun periode Madinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Al-Qur’an adala sumber pokok bagi peri kehidupan Rasulullah. Perjalanan hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan al-Qur’an; dan al-Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
Untuk mengetahui dan menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah para ulama bersandar pada dua cara utama: simaa’i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyaasi ijtihaadi (kias hasil ijtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat shahih dari para shahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para shahabat; bagaimana dan dimana serta peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makkiyyah dan Madaniyyah itu didasarkan pada cara pertama ini. Namun demikian, tentang hal ini tidak diperoleh sedikitpun keterangan dari Rasulullah saw. karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Qadi Abu Bakar Ibnu Tayyib al-Baqalani dalam al-Intisaar menegaskan: “Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah itu mengacu pada hafalan para shahabat dan tabi’in. Tidak ada suatu keterangan pun yang datang dari Rasulullah saw. mengenai hal ini, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagai pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nas dari Rasulullah saw.
Cara kedua adalah cara qiyaasi ijtiHaadi didasarkan pada ciri-ciri makkiyyah dan Madaniyyah. Apabila dalam surah makkiyyah terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madaniyyah atau mengandung peristiwa madaniyyah, maka dikatakan bahwa ayat itu madaniyyah. Dan apabila dalam surah Madaniyyah terdapat ayat yang mengandung sifat makkiyyah atau mengandung peristiwa makkiyyah, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat makkiyyah. Demikian pula apabila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Madaniyyah, maka surah itu dinamakan surah madaniyyah. Inilah yang disebut qiyaasi ijtiHaadi. Oleh karena itu para ahli mengatakan: “Setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah makkiyyah. Dan setiap surah yang mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah madaniyyah. Dan begitu seterusnya.” Ja’bari mengatakan: “Untuk mengetahui Makkiyyah dan madaniyyah ada dua cara, yaitu sima’i (pendengaran) dan qiyyasi (kias).” Sudah tentu sima’i pegangannya adalah berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun penalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.

Perbedaan Makkiyyah dan Madaniyyah

‘Ulumul Qur’an; Ilmu-ilmu Al-Qur’an; Mannaa’ Khalil al-Qattaan
Ketentuan Makkiyyah dan Ciri Khas Temanya
1. Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah”
2. Mengadung lafal “kallaa”. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
3. Mengandung kalimat “yaa ayyuHan naas” dan tidak mengandung kalimat “yaa ayyuHalladziina aamanuu.” Kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat “yaa ayyuHalladziina aamanur ka-‘uu wasjuduu.” Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah Makkiyyah.
4. Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu, kecuali surah al-Baqarah.
5. Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki, kecuali surah al-Baqarah.
6. Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti alif laam miim dan lain-lain, kecuali surah al-Baqarah dan Ali ‘Imraan. Sedang surah ar-Ra’du masih diperselisihkan.
Ciri Tema dan Gaya Bahasa Makkiyyah:
1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumen terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dhalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah saw. sehingga beliau tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
Ketentuan Madaniyyah:
1. Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi)
2. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik kecuali surah al-Ankabuut.
3. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab
Ciri khas dan gaya bahasa Madaniyyah:
1. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2. Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.