Kunci Menyingkap Hijab
Banyak cara yang boleh dilakukan untuk
menyingkap hijab, terutama bagi setiap orang yang berjalan menuju Allah
(salik). Sebab ketika seseorang tidak mampu menyingkap hijab, bererti
selama itu pula dia tidak dapat lepas dari jeratan syirik, baik syirik
jali (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi).
Syarat utama untuk berjumpa dengan Allah
ialah tidak boleh syirik sama sekali, teristimewa dalam menjalankan
ibadah. Perjuangan yang harus terus dilakukan ialah mencari cara agar
mampu menyingkap hijab itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, yang selalu mengajak
orang berpaling dari Allah adalah nafsu yang ada di dalam diri,
terutama nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat (uraian tentang nafsu
dapat dilihat pada Kasyaf Edisi 1). Nafsu, meski di satu sisi berfungsi
menggairahkan hidup, namun jika tidak dikendalikan dan tidak
dikembalikan kepada Allah, dapat menyeret seseorang pada tipu daya
kehidupan dunia. Nafsu dapat membuat batin terombang-ambing, kerana
desakan beragam peristiwa, keadaan, keinginan dan cita-cita. Dalam
situasi demikian, pandangan seseorang akan mudah terhijab (terdinding)
dan berpaling kepada selain Allah. Untuk itu diperlukan kemampuan
mengendalikan nafsu agar tidak terhalang dalam memandang Allah.
Kerana ketika nafsu tidak mampu
dikendalikan, maka nafsu tersebut akan menguasai diri sepenuhnya, bahkan
dapat menjadi tuhan selain Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam
firman-Nya:
“Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang
akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat? Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS Al Jaatsiyah: 23).
Pada saat nafsu telah menguasai diri, itu
petanda hijab telah menutupi pandangan hati, juga tidak menutup
kemungkinan akan terus ke pendengaran, penglihatan dan akal. Pada
akhirnya, penglihatan tidak mampu menyaksikan keindahan sifat Allah,
pendengaran tidak mampu merasakan dahsyatnya ayat-ayat Allah dan akalnya
tidak mampu menerima percikan cahaya Ilahi. Itu semua adalah tanda dari
orang yang sedang disesatkan Allah.
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah
(kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki
Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di
atas jalan yang lurus” (QS Al An’aam: 39).
Salah satu cara untuk menyingkap hijab
adalah dengan jalan mengendalikan nafsu dan mematikannya. Dalam hadis
Nabi saw. menganjurkan:
“Matikan nafsumu sebelum kamu mati.” (tertera pada Kitab Ad-durun Nafis).
Orang yang sudah mampu mengendalikan hawa
nafsunya, akan memiliki pandangan yang jernih dalam menatap Wujudul Haq
(wujud Allah). Diumpamakan bagai telaga yang airnya jernih, tampak jelas
keindahan semua isinya. Sebaliknya, telaga yang airnya kotor tidak
terlihat apapun, kecuali hanya kekeruhan. Orang yang dapat menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya dan takut Tuhannya, akan memetik keindahan
syurga.
“Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sesungguhnya syurga sebagai tempatnya.” (QS An Naajiyat: 40).
Orang-orang seperti itulah yang akan dapat
menikmati keindahan syurga, yaitu terbukanya tirai Ilahi. Barangsiapa
rindu berjumpa dengan Allah, hendaklah menahan diri dari mengikuti hawa
nafsu. Berbahagialah orang-orang yang telah membersihkan jiwanya dari
keterikatan hawa nafsu.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu senantiasa
berhubungan (memandang Allah).” (QS Al ‘Ala: 14-15).
Prasangka
Hijab paling dahsyat ialah zhan (baca: zhon
atau prasangka). Disusul hijab “rasa” yang sangat berbahaya dan bisa
meruntuhkan benteng keyakinan. Semua itu adalah hijab dalam memandang
wujud Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sangka-sangka, kerana sebahagian dari sangka-sangka itu dosa.” (QS Al Hujaraat: 13).
Apa yang telah menjadi prasangka kebanyakan
orang tentang adanya sesuatu selain Allah, sesungguhnya jauh dari
kebenaran. Kerana prasangka tersebut, hanya sebuah pandangan atau
sebatas persepsi yang sudah melekat erat sesuai alur kehidupan.
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu
pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit
pun terhadap kebenaran.” (QS An Najm: 28).
Kerananya, singkirkan segala prasangka dari
dalam hati dan fikiran, dengan cara syuhud. Yakni memandang keEsaan
wujud Allah melalui basyiratul qalbi (mata hati).
Penyingkap hijab
Pengertian syuhud sebagai basyiratul qalbi
(pandangan mata hati) seperti kaedah yang tertera dalam kitab Ad-durun
Nafis: SYUHUUDUL KATSRAH FILWAHDAH, SYUHUUDUL WAHDAH FILKATSRAH “Pandang
yang banyak pada yang satu dan pandang yang satu pada yang banyak”.
Sampai menemukan keyakinan dan pandangan yang benar, andai diungkapkan
dalam bentuk kata-kata, maka lahirlah: “Tidak
aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah padanya, tidak aku
melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sertanya, tidak aku
melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelumnya, tidak aku
melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sesudahnya”. Itulah kunci-kunci penyingkap hijab.
Kunci-kunci tersebut harus dipraktikkan
dengan landasan pemahaman tentang tauhidul af’al, tauhidul asma,
tauhidus sifat dan tauhidu dzat (esa perbuatan, nama, sifat dan zat
Allah). Inilah yang menjadi tonggak keyakinan, untuk memandang setiap
kejadian di alam semesta pada hakikatnya perbuatan Allah, setiap nama
hakikatnya nama Allah, setiap sifat hakikatnya sifat Allah dan setiap
zat hakikatnya adalah zat Allah.
Bila semua perbuatan, nama, sifat dan zat
telah disandarkan kepada Allah, maka akan membuahkan sikap terpuji yang
disebut akhlakul karimah. Selanjutnya orang tersebut akan memiliki sikap
tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sebagaimana terlukis
pada kehidupan Rasulullah saw. Beliau memiliki sifat sabar, ikhlas,
tawadhu (rendah hati) dan sifat terpuji lainnya. Akhlak tersebut tidak
dipaksakan, tetapi muncul apa adanya sebagai refleksi syuhud.
Acuan syuhud adalah kalimat Laailaha
illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yang berlanjut pada makna:
Tidak ada sesuatu apapun selain Allah. Rasulullah saw. bersabda: “Kunci
syurga itu Laailaha illallah”. Disebut kunci syurga, kerana syurga bagi
orang yang sedang menuju Allah difahami sebagai syurga dalam arti
ma’rifah. Seseorang tidak akan ma’rifah tanpa membuka kuncinya. Kunci
itu adalah mengamalkan kalimat Laailaha illallah sampai menemukan
hakikat fana.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 26-27).
Tatkala sampai pada darjat fana, maka
tersingkaplah tirai yang menghalangi dalam memandang Allah. Fana ini pun
sebagai kunci pembuka tirai Ilahi.
Namun perlu digaris bawahi di sini, syuhud
bukanlah wacana akal dan bukan pula perdebatan lisan, tapi Syuhud ada
dalam rasa. Bagaimana rasa kehambaan sirna dalam rasa-Nya, tentunya rasa
dalam arti Esa. Demikian syuhud bagi para arifin billah. Tapi syuhud
bagi salikin, dengan sarana ilmu tauhid untuk memandang kepada-Nya,
hingga tertanam ‘ilmul yaqin (keyakinan ilmu).
Syuhud juga dilakukan dengan menggunakan
syua’ul basyirah (penglihatan akal) dan ainul basyirah (penglihatan
ilmu). Kemudian mengaplikasikan ilmu itu ke dalam kehidupannya, seiring
zikir yang istiqomah. Sehingga muncul inner power atau kekuatan
dari dalam diri yang dapat memacu semangat berjalan menuju kepada-Nya.
Akhirnya dengan pengamalan syuhud yang benar akan runtuh segala
prasangka dan tersingkaplah seluruh hijab.
Menghadirkan Allah
Membiasakan syuhud sekaligus diiringi
zikir, ibadah, dan thariqah (tarikat) itu harus dilakukan dengan
bimbingan seorang mursyid, yakni seorang pembimbing yang waliyan
mursyidan, waratsatul anbiya (pembimbing yang bijak dan benar-benar
sebagai pewaris nabi).
Untuk dapat mengamalkan syuhud dengan baik
dan benar perlu diiringi dengan zikir. Baik dengan zikir lisan, zikir
aqli (akal), zikir qalbi (hati) maupun zikir sirri (rahsia). Juga
diperlukan upaya yang bersungguh-sungguh agar Allah selalu hadir
(hudhurullah) di dalam hati, sehingga secara perlahan-lahan akan selalu
memandang Allah. Bahkan yang ada dan yang dipandang hanya keelokan dan
keagungan wujud Allah.
Hudhurullah adalah membalik kesadaran hamba
menjadi kesedaran robbaniyah (ketuhanan). Apabila pandangan hamba
menghadap kepada Allah nescaya hilanglah makhluk dan yang tampak adalah
wujud-Nya. Sebaliknya apabila pandangan hamba menghadap kepada makhluk,
nescaya hilanglah Allah. Dua pandangan tersebut tidak dapat berjalan
secara bersama.
Untuk memahami hal tersebut harus mengerti
istilah “nafi itsbat” dalam kalimat Laailaaha illallah. Lafaz laa adalah
nafi, artinya meniadakan. Sedangkan lafaz Ilaaha sebagai manfi,
artinya yang ditiadakan. Adapun itsbat-nya adalah lafaz Illa, artinya
kecuali. Dan mutsbit-nya adalah Allah. Lafaz Ilaha berarti sesuatu yang
dimaknai Tuhan.
Sesuatu yang menjadi tuhan, meliputi segala
yang dicintai dan disayangi hingga membatu dan berubah jadi berhala
dalam hati. Kerana itu, dalam kalimat nafi istbat yang harus dinafikan
adalah pandangan kepada makhluk. Sebab selama memandang makhluk, tidak
mungkin dapat memandang Allah dan untuk dapat memandang Allah, harus
fana kemakhlukannya. Allah dan makhluk tidak dapat disatukan dan juga
tak dapat dipisahkan, masalah ini bagaikan keberadaan malam dengan
siang. “Semua yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 26-27).
Menunggu Warid
Untuk menyingkap hijab, seseorang tidak
dapat mengandalkan kekuatan dan kemampuan dirinya, melainkan semata-mata
dengan kekuatan dan anugerah Allah. Banyak orang yang terhijab dalam
memandang Allah, kerana belum mendapatkan warid (anugerah) dari Allah.
Namun kehadiran anugerah Allah tidak dapat mengikut kehendak hamba,
melainkan semata-mata kerana kehendak-Nya. Seseorang yang berharap dan
menunggu anugerah Allah, sayugianya melakukan kaifiat (tata cara)
riyadhah dan mujahadah (ibadah dan berjuang) untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
Kerana itu, apapun usaha yang dilakukan
seseorang untuk menyingkap hijab dengan mengamalkan zikir, mengendalikan
nafsu, melaksanakan qiyamul lail (sholat malam) dan melakukan riyadhah
mujahadah, semua itu tidak lepas dari minnah atau anugerah Allah.
Sehingga semua amal ibadah yang dilakukan tetap dikembalikan kepada
Allah. Sebaliknya, apabila amal ibadah tersebut disandarkan pada dirinya
sendiri, malah menambahkan hijab. Maka apa pun yang dilakukan,
hendaklah dipandang bahwa semua itu adalah warid (anugerah) dari Allah.
Perlu dipertegas di sini, bahwa anugerah Allah tidak dapat dicari dengan
usaha apapun, melainkan hanya bersandar kepada Allah semata.
Tersingkapnya hijab bagi hamba dalam
memandang Allah, kerana telah mendapatkan percikan anwar ilahiyah
(cahaya Allah). Ketika seseorang telah mendapatkan warid, maka hatinya
senantiasa lega dan lapang dalam menghadapi apapun, termasuk sesuatu
yang tidak sesuai dengan nafsunya.
Bimbingan Syekh Mursyid
Dengan demikian dapat disimpulkan bahawa
untuk menyingkap hijab, yang paling utama adalah kemampuan mengendalikan
nafsu, nafsu yang selalu mengajak ingkar kepada Allah, nafsu yang
membenamkan seseorang pada kenikmatan hidup secara syahwati, nafsu yang
memalingkan pandangan seseorang pada selain Allah. Di samping itu, juga
harus menghilangkan prasangka. Kerana prasangka yang muncul dari akal
fikiran, biasanya telah tercampur dengan adat kebiasaan yang berlaku di
seputar kehidupannya.
Jika ingin menghilangkan prasangka tentang
adanya sesuatu selain Allah, maka harus dapat menerapkan syuhud dengan
benar. Tidak ada jalan lain, kecuali dengan sungguh-sungguh mempelajari
dan memahami ilmu tauhid yang mukasyafah (terbuka).
Untuk mempelajari ilmu tauhid yang benar,
harus mendapat bimbingan dari seorang mursyid, yaitu seorang pembimbing
spiritual yang memiliki “mandat ruhaniah” untuk membimbing salikin
menuju kepada-Nya. Adalah merupakan anugerah besar bagi seseorang yang
telah dipertemukan dengan seorang pembimbing yang demikian, kerana hanya
dengan petunjuk dan anugerah dari Allah sajalah seseorang bisa
dipertemukan dengan mursyid.
Dalam Al Qur’an telah diisyaratkan bahwa
bagi orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah maka akan dipertemukan
dengan seorang guru yang mampu membimbing dalam wilayah ruhaniah, yaitu
yang disebut Syekh Mursyid yang kamil mukamil (sempurna).
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh
Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang
disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang wali yang dapat
memberi petunjuk kepadanya.” (QS Al Kahfi: 17).
Yang dimaksud wali dalam ayat di atas ialah
pemimpin spiritual. Pemimpin tersebut adalah orang yang telah mencapai
puncak spritual, mereka itulah yang dikenal dengan gelar Waliyullah atau
Arifin billah. Para Waliyullah inilah yang memiliki mandat ruhaniah
untuk menjadi mursyid (pembimbing) bagi para penempuh jalan menuju
Allah.
Mursyid dalam erti pembimbing bagi orang
yang menuju Allah, berbeza dengan ulama yang hanya sebatas memahami ilmu
fikah belaka. Juga berbeza dengan para akademik dan pakar tasawuf yang
biasanya hanya sebatas wacana, tidak mengenal apalagi menyelami wilayah
ruhaniah yang sesungguhnya.
Dengan memperoleh bimbingan dari seorang
syeikh mursyid yang kamil mukamil, seorang salik akan terbimbing dalam
perjuangan menyingkap ribuan hijab yang menghalangi perjalanannya.
Ketika hijab kegelapan telah tersingkap, maka cahaya ketuhanan (anwarul
Ilahiyah) akan menerobos menerangi hati. Dan nyatalah rahsia-rahsia
ketuhanan melalui penglihatan mata hati (bashiratul qalb).
***
Dikutip dari KASYAF Edisi 2, Majalah Kajian Tauhid dan Hakikat.
Saat ini sedang beredar KASYAF Edisi 5 yang mengangkat thema “HIJRAH
Saat ini sedang beredar KASYAF Edisi 5 yang mengangkat thema “HIJRAH