Ajaran tasawuf Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari (selanjutnya disebut Muhammad Nafis), dalam
karya tulisanya Ad-Durun nafis, menimbulkan pendapat yang pro dan kontra
di kalangan masyarakat muslim. Sehingga ajaran tasawuf itu sangat
menarik kita ketengahkan dalam tulisan ini.
Berdasarkan pengakuan
Muhammad Nafis sendiri, sebagaimana tersurat dalam karya tulisnya
Ad-Durrum Nafis, dia menyatakan bahwa dalam bidang tasawuf dia adalah
pengikut Junaid al-Baghdadi. Diketahui bahwa Junaid al-Baghdadi adalah
salah seorang tokoh sufi penganut aliran tasawuf Sunni, maka dengan
demikian bisa diketahu bahwa Muhammad Nafis mengaku sebagai penganut
aliran Tasawuf Sunni. Namun, jika diamati dari literatur (kitab) yang ia
gunakan menulis karya tulisnya tersebut, dapat diketahu bahwa ajaran
tasawufnya adalah memadukan antara lairan tasawuf Sunni dengan aliran
tasawuf filosofis, karena dari literatur )kitab) yang ia gunakan
tersebut ada yang beraliran tasawuf Sunni, seperti kitab-kitab yang
ditulis oleh Imam al-Ghazali dan al-Qusyairi, dan ada pula yang
beraliran tasawuf filosofis, seperti kitab-kitab yang ditulis oleh
Ibn’Arabi dan al-Jili.
Ajaran tasawuf Muhammad
Nafis tentang Tuhan, nampaknya sama dengan Junaid al-Baghdadi dan
al-Ghazali, bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh
tentang Allah karena manusia bersifat finit (terbatas), sedangkan Allah
bersifat infinit (tidak terbatas). Muhammad Nafis sama pendapatnya
dengan Al-ghazali dan Ibn’arabi bahwa kunhi (hakikat) wujud Allah itu
tidak bisa diketahui melalui akal dan panca indra dan dugaan. Kita hanya
wajib mengetahui bahwa Allah itu ada, Esa dan Uluhiyah-Nya, tanpa
pengetahuan tentang hakikatnya, karena hakikat dzat Tuhan itu mungkin
dikenal oleh siapapun.
Muhammad Nafis dalam hubungan
ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka
Allah ber-tajalli (menampilkan) diri-Nya didalam Nur Muhammad yang
merupakan asal kejadian. Proses penampilan Tuhan ini menghasilkan
fenomena sebagai manifestasi dan dzat Allah itu sendiri, maka yang
sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu Tuhan itu sendiri, sedangkan
selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan
dengan wujud Allah. Mengenai penampilan diri Tuhan ini, nampaknya
Muhammad Nafis, sama dengan teori Wahdatul wujud Ibn’Arabi dan Al-Jili.
Konsep muhammad Nafis tentang
Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan
meliputi sifat, asma’ (nama-nama), dan Afal-Nya, karenanya, hubungan
masing-masing sangatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’),
dan perbuatan (Af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut
pengertiannya, namun, semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, masing-masing saling berhubungan. Adanya dzat sekaligus
menunjukkan adanya sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan (af’al).
Masalah ini menjadi inti dari ajaran muhammad Nafis mengenai tauhid
(pengesaan) dalam memandang sifat, nama-nama (asma), perbuatan (af’al),
dan dzat Allah Ta’ala sebagai proses upaya mendekatkan diri kepada
Allah.
mengenai sifat Tuhan, Muhammad
nafis mengatakan bahwa sifat itu adalah diri yang disifati, dan ia bukan
merupakan tambahan pada dzat, dan bukan pula sesuatu yang melekat pada
dzat. Dengan demikian, menurut dia, bahwa ALlah Mahakuasa denga dzatNya,
maha mendengar dengan dzatnya, Maha melihat dengan dzatnya, dan maha
berkata-kata dengan dzatnya, bukan dengan selain dzatnya.
muhammad Nafis tidak mengakui
adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-iradat,
al-asma, al-bashr, dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia,
yang dmikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma
(nama-nama) Allah semata-mata Al-Quran menyebutkan sebagai asma
(nama-nama) Allah. Lebih jauh ia menegaskan, bahwa jika Allah itu
bersifat berarti Allah itu tidak dikenal, sebab sesuatu yang disifatkan
itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala
yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya. Allah
tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah dikatakan
bersifat (memerlukan sifat) untuk mengenalkan dirinya kepada makhluknya,
maka itu berarti mereduksi (mengurangi) ke Mahakuasaan Allah. Dalam hal
ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis
tetang sifat Tuhan tadi, nampaknya sama dengan pandangan aliran
Mu’tazilah yang menafik sifat Allah. Tetapi, justru dia melontakan
kritiknya terhadap aliran Mu’tazilah. Menurut dia walaupun pandangan
aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat tidak lain adalah dzat Allah
sendiri, dan tidak menanbah keberadaan dzat Allah, namun, menurutnya,
pandangan aliran Mu’tazilah itu adalah bidah dan fisik, karena tidak
wajar pandangan seperti itu diberikan kepada Allah Yang Mahatinggi.
Ajaran Muhammad Nafis tetang
sifat dan asma’ (nama-nama), terlihat adanya kemiripan dengan pandapat
Ibn’Arabi. Bagi Ibn’Arabi, asma’ (nama-nama) Tuhan itu adalah asensinya
dalam suatu aspek atau aspek lain yang tidak terbatas ; ia adalah suatu
“bentuk” terbatas dan pasti asensi Tuhan. Adapun sifat itu tidak lain
adalah nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia ekternal ini.
Sebagaimana Muhammad Nafis yang
hanya mengakui keberadaan asma’ (nama-nama) Tuhan, tidak mengakui
keberadaan sifat-sifatnya, Ibn’Arabi juga meyakini bahwa sifat-sifat
tersebut tidak mempunyai eksestensi dan wujud entitas didalam esensi
Tuhan, sifat-sifat tersebut haruslah dipahami bahwa itu hanya metafor
(semu) saja, bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi.
Tentang penciptaan, aliran Ahlus
Sunnah, termasuk al-Ghazali menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam
langsung dari tidak ada, Al-Farabi dan Ibn Sina alam diciptakan dengan
cara emansi (pelimpahan). Sedangkan menurut Ibn Arabi alam ini ada
melalui proses tajalliyat. Teori Ibn arabi ini mempengaruhi Al-Jili.
kemudian teori ini dikembangkan oleh seorang sufi dari gujarat, Muhammad
Ibn Fadullah ia kembangkan tori tajalli itu menjadi tujuh tahapan yang
dikenal dengan istilah martabat tujuh. Berikutnya teori ini mempengaruhi
dua tokoh sufi di Aceh, Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin Pasai. Ajaran
ini nampak sekali menunjukkan ajaran tasawuf wahdatul wujud.
Muhammad Nafis tentang
penciptaan ini nampak sekali dia terpengaruh oleh teori martabat tujuh
tersebut. Hal ini tergambar pada pendapatnya yang menyatakan bahwa
penampilan dzat itu melalui tujuh martabat dari hadrat al-Sarij, yaitu
hadrat dzat semata-mata. Menurut dia, penampilan dzat ialah dzat-Nya
menjelma tirun berjenjang yang disebutnya dengan martabat tajalli dan
tanzil. Dalam teori ini nampaknya dia memandang segala ciptaan itu
adalah bayangan diri yang maha Mutlak (Allah), jadi benar-benar wujud
hanya satu, yaitu Allah semata.
Menurut Muhammad nafis, Nur
Muhammad itu adalah awal dari segala kejadian. Kalau dibandingkan dengan
teori kejadian dikalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina
yang menyatakan bahwa awal kejadian adalah akal pertama, maka jelas
sekali persamaan kedua teori ini dalam prinsif. Namun, dari sisi
fungsinya jauh berbeda.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis
tentang manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah al-Insanul Kamil,
nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf ibn arabi dan Al-Jilli.
Mereka mengaitkan ajarannya tentang manusia dengan ajaran tentang Tuhan
dan penciptaan.
Manusia menurut dia adalah
mikrokosmus karena padanya tercermin dengan sempurna segala nama-nama
ketuhanan dan hakikat-hakikat yang lahir pada alam raya. Manusia disebut
Al-Insanul Kamil, karena manusia yang hanya mampu mengaktualisasikan
atribut-atribut Tuhan secara sempurna. Dan Al-Insanul Kamil menurut
mereka adalah orang-orang yang mampu mencapai peringkat ma’rifat,
sehingga terhimpun pada dirinya sifat jala (kemuliaan) dan sifat jamal
(keindahan).
Menurut Muhammad Nafis, bagi
seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dia harus
berpandangan bahwa alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada,
yang ada hanya wujud Allah. Wujud Allah meliputi segala sesuatu. Allah
tidak ada persamaannya dengan sesuatu. Tidak ada maujud pada hakikatnya
hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’
segala nama hamba pada nama Allah, fana’ pula segala sifat-sifat hamba
pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah.
Segala apapun yang ada pada makhluk ini fana’ dan (dugaan) semata.
Apabila dia melakukan pandangan seperti ini, pada saatnya dia akan
merasa fana’ dalam lautan ahadiyah wujud Allah, yang tidak ada
tandingannya. Pada saat itu tidak terlihat olehnya amal dirinya, tidak
dirasakannya bahwa dirinya sendiri yang dapat mencapai peringkat ini,
tidak pula diketahuinya wujud mutlak. Perasaannya berkelana tanpa
disadarinya karena hanyut bersama Nur Ilahi yang dipandangnya.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Muhammad Nafis, seseorang harus melalui beberapa peringkat sebagai berikut :
Pada peringkat pertama dia harus
berpandangan tawhidul afal, yaitu memandang bahwa perbuatan hakiki
hanya perbuatan Allah, sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang
sirna di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaimana sirnanya cahaya
lampu didalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Muhammad
Nafis tentang perbuatan ini sama dengan pendapat Ibn’Arabi.
Pada peringkat ini, seseorang
sufi sudah mampu memfanakan perbuatannya didalam perbuatan allah yang
maha hebat. Dengan dicapainya peringkat tawhidul af’al ini, sufi akan
memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya mendekati tujuan
yang didambakannya.
Peringkat kedua untuk
mendekatkan diri kepada Allah menurut Muhammad nafis adalah orang mampu
berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, maka sebagai
konsekuensi logisnya, maka hakikat nampun hanya nama Allah, karena semua
nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Cara
pandang pada peringkat tawhidul asma’ ini adalah memandang semua nama
yang banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah. dan
diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.