Begitu
lembaran-lembaran kertas telah habis dibuka, Halaman demi halaman telah
semua dibaca maka yang jadikan Makna dan Nilai adalah Isinya. Walaupun
awalnya ia melihat kepada bacaan akan tetapi tatkala bacaan telah
terlewati tentu tidak ada bacaan melainkan hanyalah tulisan-tulisan. Dan
tidak ada tulisan-tulisan itu melainkan Kalimat demi kalimat. Tidak ada
kalimat-kalimat itu melainkan Kata demi kata. Tidak ada kata-kata itu
melainkan Huruf demi huruf. Tidak ada huruf-huruf itu melainkan hanya
tinta saja yang ada. Dari satu “TITIK” Tinta menjadi huruf, kata,
kalimat, tulisan dan bacaan lalu menjadi makna dalam kehidupan.
Karenanya
para Arif Billah tidak memandang kepada yang banyak itu tetapi Ia hanya
memandang kepada satu “TITIK” saja. Dari “TITIK” itulah awal jadinya
segala sesuau dan kembalinya segala sesuatu.
Begitu
Raden Syahid yang dikenal dengan Gelar SUNAN KALIJAGA sewaktu berguru
kepada Sunan Bonang mengatakan bahwa Ia ingin menuntut/belajar Ilmu
Allah Swt. Lalu kata Sunan Bonang bahwasanya Ilmu Allah Ta’ala itu luas
bagaikan lautan. Apabila lautan itu dijadikan tinta untuk menuliskan
Ilmu Allah Ta’ala maka belum cukup lagi, Habis Air lautan itu ditambah
lagi sebanyak itu untuk menuliskan Ilmu Allah Ta’ala masih belum cukup
juga. Ditambah lagi sampai 7 lautan untuk dijadikan tinta untuk
menuliskan Ilmu Allah Ta’ala masih belum cukup juga.
Lalu
kata Sunan Kalijaga ; Wahai Kanjeng Sunan Bonang tidaklah sebanyak itu
yang hamba inginkan, melainkan yang ingin hamba tuntut hanyalah satu
“TITIK” Ilmu Allah Ta’ala dari Luasnya Ilmu Allah Ta’ala itu. Bukan kah
Satu “TITIK” air itu tiada lain air lautan yang luas itu juga?
Dari
riwayat itu menunjukkan bahwa betapapun Luasnya Ilmu Allah Ta’ala, akan
tetapi rahasia Ilmu itu atau Kunci Ilmu itu hanyalah seTITIK saja. Dan
seTITIK itu menjadi Rahasia pada Insan sebagai Manusia yang dicipta
Allah sesempurna-sempurna kejadian. Dengan rahasia “TITIK” itulah yang
menyebabkan Insan itu dikatakan lebih sempurna dari pada Makhluk-makhluk
yang lain.
Sesungguhnya
apa yang di tuntut para Awliya Allah itu sudah dilalui dalam kehidupan
Baginda Nabi Muhammad Saw. Salah satunya yaitu pada waktu Beliau pertama
kali menerima Wahyu, di Umur Beliau pada waktu 40 tahun di malam 17
Romadhan bertepatan pada 610 Masehi. Di mana Beliau pada saat itu sering
menyendiri di Goa Hira’, yang berada di puncak bukit Jabal Nur 6 km di
Utara Mekkah. Sepanjang bulan Romadhan setiap tahun Rosulullah Saw
selalu menyendiri di sana dengan hanya membawa sedikit bekal., hati dan
fikiranya bergejolak untuk mencari Kebenaran sampai datanglah peristiwa
yang Maha Dahsyat itu!
Rosulullah
Saw di dalam kesendiriannya itu tidak ada yang di ingat dan difikirkan
selain Allah yang Maha Benar! Dimana di yakini oleh sebagian para
Arifbillah para Waliyullah bahwa Beliau berdialog dengan Tuhannya
sebagaimana yang terkandung dalam Rahasia Surah Al-Fatihah 7 Ayat.
Dari yang tersirat pada surah Al-Fatihah itulah Beliau mengetahui akan Tuhannya dan Beliau mendapatkan Pencerahan Jiwa tentang Kebenaran Tuhan yang Hakiki itu meliputi sekalian Alam menjadi Rahasia pada Insan.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Hadits Qudsi : “Insan itu Rahasia Ku dan Aku adalah Rahasianya”.
Di Hadits Qudsi yang lain Allah berfirman : “Insan itu Rahasia Ku, Rahasia Ku itu Sifat Ku dan Sifat Ku itu tiada lain daripada Ku”.
Dengan
pandangan Rosulullah Saw kepada Rahasia Allah yang meliputi tiap-tiap
segala sesuatu yang berpusat pada Diri Beliau itulah maka Beliau
menemukan Kebenaran yang sesungguhnya.
Tatkala
Kebenaran itu sudah didapatkan, tatkala hijab itu sudah terungkap
dengan pandangan Musyahadah kepada satu “TITIK” yang ada pada diri Nabi
maka Allah menurunkan Wahyu Nya kepada Beliau untuk menegaskan bahwa apa
yang Beliau Jalani itu adalah kebenaran.
Firman Allah :
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptak an
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam , Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS, Al ‘Alaq : 1-5)
Bukankah
Ayat tersebut mengisyaratkan kepada Diri Insan? Ya…! Karena Jawaban
tentang Allah Maha Kebenaran Mutlak itu ada pada Insan. Tatkala
merenungkan Asal kejadian Diri maka akan di kenal lah Diri yang
sebenarnya. Dengan mengenal kepada Diri yang sebenarnya maka Kenal lah
akan Allah Swt.
Firman Allah lagi :
“Dan
di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?”. (QS, Adz Dzaariyaat : 20-21)
Jika sudah demikian apakah yang dilalui Nabi dalam kesendiriannya itu bukan suatu Jalan(Tariqat) untuk mencapai Kebenaran(Hakikat dan Ma’rifat/Tasawuf)?
Dengan demikan Rosulullah Saw telah ber Tarikat dan ber Tasawuf sehingga menerima Wahyu Allah dimalam 17 Romadhon dan bertemu dengan Allah pada malam 27 Rajab.
Salahkah dan sesatkah para Arifbillah dan para pencinta Allah jika menuntut Tarikat dan Tasawuf?
Jika
ada yang berani mengatakan bahwa Tarikat dan Tasawuf itu salah dan
sesat, maka sama halnya ia mengatakan Nabinya Muhammad Rosulullah Saw
itu Sesat!
Na’udzubillah……………………
Siapa
yang mengatakan para pengamal tarikat dan tasawuf itu sesat dan salah
jalan maka sama halnya ia mengatakan Nabi itupun sesat dan salah jalan.
Lalu apa bedanya mereka yang mengatakan sesat itu dengan orang-orang
Kafir pada zaman Nabi. Jika orang Kafir di zaman Nabi sebagian adalah
Ahlul Kitab, lalu bagaimana dengan di zaman sekarang yang terlalu
membangga-banggakan apa yang sudah dihafal dan dibacanya di dalam Kitab
kemudian pengetahuannya tentang apa yang sudah di dapatnya itu di
jadikan suatu bahan untuk debat, menyalahkan bahkan mengkafirkan, Apakah
mereka bukan Ahlul Kitab di zaman ini?
Karena
itu mengikuti Nabi bukanlah hanya sebatas Lahiriahnya saja tetapi yang
paling utama adalah bagaimana Pribadi Beliau, Batin Beliau sehingga
mendapatkan Kebenaran yang Hakiki.
Semoga tulisan ini bisa membuka mata hati kita tentang Kebenaran yang sesungguhnya.