Pertanyaan
Ayat-ayat
mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir? Tolong
jelaskan ayat-ayat yang menyinggung tentang berpikir dan berasionisasi
dalam al-Quran?
Jawaban Global
Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran,
pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang
disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini
kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran
terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis. Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis. Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
- Mencela secara langsung manusia yang tidak mau berpikir:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, Allah Swt menghukum manusia disebabkan
karena mereka tidak berpikir. Dengan beberapa ungkapan seperti, “afalâ ta’qilun”, “afalâ tatafakkarun”, “afalâ yatadabbaruna al-Qur’ân”,[9] Allah Swt mengajak mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya.
- Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:
Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya
itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari
apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah,
“Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu?
Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi
Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan
bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil
dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan
palsu.[11] Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah
mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit
gila? Ia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan
yang nyata (yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas
mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah, “Sesungguhnya
aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu
menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri;
kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila
sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan
bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)
- Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:
Mencermati langit dan bumi serta keagungannya, demikian juga aturan
yang berlaku pada unsur-unsur alam natural, merupakan salah satu jalan
terbaik untuk memahami keagungan Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru
manusia untuk memperhatikan dan mencermati fenomena makhluk, sejatinya
mengajak mereka untuk berpikir tentang Pencipta makhluk-makhluk
tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah yang menciptakan segala yang
ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit,
lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12] dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)
- Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:
Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk
membangkitkan manusia setelah kematian mereka didasarkan argumen-argumen
rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran, kemungkinan adanya hari Kiamat
dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk berpikir pada contoh-contoh yang
serupa; seperti datangnya para wali manusia,[13] hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas permintaan Nabi Ibrahim AS,[15] kisah Ashabul Kahfi,[16] kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak contoh lainnya.
- Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:
Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan menyinggung sebagian sifat Allah
Swt, manusia diajak untuk berpikir tentang Allah Swt dan tentang amalan
perbuatan mereka. Sifat-sifat seperti, Qadir, Malik, Sami’ dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah
mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan
bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah [9]:78)[18] dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]:98)[19]
jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang prinsip-prinsip
akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan Ilahi. Ayat-ayat
ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam al-Quran. Karena
prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari pembahasan-pembahasan
rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan menggunakal akal.
Taklid dalam hal ini tidak dibenarkan.
- Menjelaskan ragam kisah dan azab yang diturunkan akibat dosa-dosa kaum-kaum terdahulu:
Harap diperhatikan menjelaskan kisah-kisah kaum terdahulu yang
disampaikan dalam al-Quran, bukan dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan
satu kisah atau kisah yang membuat manusia larut di dalamnya, melainkan
sebuah pelajaran berharga untuk umat selanjutnya. Atau dengan menelaah
nasib dan peristiwa yang menimpa mereka, manusia seyogyanya berpikir
tentang akhir dan pengaruh amalan perbuatan mereka sehingga dapat
menuntun manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang sama; seperti
kisah Nabi Yusuf,[20] kisah yang sarat dengan pelajaran wanita-wanita para nabi,[21] azab-azab yang turun untuk kaum Ad, Tsamud dan Luth.[22]
- Menjelaskan mukjizat-mukjizat para nabi:
Jalan terbaik untuk menetapkan kebenaran seorang nabi dan klaim risalah
yang dibawanya dari sisi Allah Swt adalah mukjizat. Mukjizat hanya
dapat menetapkan klaim kenabian seorang nabi tatkala hal itu berada di
luar kemampuan dan kekuatan manusia; karena itu demonstrasi mukjizat
merupakan sebuah ajakan nyata kepada manusia untuk berpikir sehingga
manusia dengan berpikir terhadap ketidakmampuannya dan kekuatan mukjizat
ia beriman kepada ucapan-ucapan para nabi; seperti mukjizat terbesar
Nabi Muhammad Saw, al-Quran yang akan tetap abadi selamanya dan manusia
dengan berpikir dan ber-tafakkur pada ayat-ayatnya dapat meraih iman
pada kebenaran nabi pamungkas,[23] dan mukjizat-mukjizat agung yang diriwayatkan dari para nabi ulul azmi.[24]
- Tantangan dalam al-Quran:
Salah satu contoh ajakan dan seruan al-Quran untuk berpikir adalah
tantangan kepada orang-orang kafir untuk menghadirkan seperti ayat-ayat
al-Quran. Tatkala manusia mencari kebenaran, mereka menjumpai
ketidakmampuan orang-orang kafir sepanjang tahun ini, mereka beriman
kepada kebenaran al-Quran dan pembawa pesannya; seperti ayat, “Dan
jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang
semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:23)[25]
- Mencela taklid buta:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, orang-orang kafir untuk mencari
pembenaran atas tindakannya menyembah berhala, tidak mau berpikir dan
sebagai gantinya menjadikan taklid buta dari datuk-datuknya sebagai
pembenar atas perbuatan-perbuatan mereka. Allah Swt mencela mereka
karena tidak mau memanfaatkan kemampuan akal dan menyeru mereka untuk
berpikir dan merenung dalam masalah-masalah akidah; misalnya pada ayat,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah
diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya
mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek
moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang
mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Baqarah [2]:170)[26] sebagaimana Allah Swt mencela Ahlulkitab disebabkan akidah-akidah batil dan taklid buta mereka, “Katakanlah,
“Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas)
dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:77)
- Meminta argumentasi di hadapan ucapan-ucapan tak berguna:
Tatkala Allah Swt di hadapan ucapan-ucapan tak berguna dan tidak benar
sebagian manusia, menuntut dalil dan burhan, dan dengan lugas meminta
seluruh manusia untuk tidak mengikut sesuatu yang tidak ada pengetahuan
tentangnya;[27]
artinya Allah Swt menginginkan seluruh manusia menjadikan akalnya
sebagai panglima untuk memutuskan di hadapan pelbagai khurafat dan
hal-hal nonsense dan meminta argumentasi dari mereka; seperti, “Dan
mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan
pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau
Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka.
Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang
yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111)[28] Demikian juga para nabi meminta argumentasi di hadapan klaim-klaim kosong seperti,
“Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah Dzat yang dapat
menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya juga dapat
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari
barat.” Lalu, orang yang kafir itu terdiam (seribu bahasa); dan Allah
tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qs. Al-Baqarah [2]:258)
- Menggunakan penyerupaan dan permisalan dalam memotivasi dan mencela manusia:
Allah Swt pada kebanyakan ayat mengajak manusia untuk berpikir dengan
menggunakan penyerupaan sehingga ia mau merenung atas apa perbuatanya;
seperti, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:41)[29]
- Mengingatkan pelbagai nikmat:
Allah Swt dalam al-Quran dengan mengingatkan pelbagai nikmat, meminta
manusia untuk menjauhi sikap angkuh dan memuja diri serta tidak
melupakan kedudukan penghambaan dan ibadah. Metode mengajak berpikir
seperti ini kebanyakan digunakan untuk kaum Bani Israel; seperti, “Wahai
Bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwa Aku telah mengutamakan kamu atas
segala umat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:47 & 122) dan Tanyakan kepada Bani Isra’il, “Berapa
banyakkah tanda-tanda (kebenaran) nyata yang telah Kami berikan kepada
mereka.” Dan barang siapa yang merubah nikmat Allah setelah nikmat itu
datang kepadanya, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya” &
Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu
merenungkan. (Qs. Al-Baqarah [2]:211 & 242) dan pada hari kiamat akan menjadi hari tatkala seluruh anugerah ini akan ditanya.”[30]
- Membandingkan antara manusia dengan memperhatikan pikiran dan perbuatannya:
Tatkala seorang berakal melakukan perbandingan antara dua hal, pada
hakikatnya ingin menjelaskan tipologi dan pengaruh positif dan negative
masing-masing dari dua hal yang dibandingkan. Membandingkan antara
orang-orang beriman dan orang-orang kafir juga merupakan seruan nyata
Allah Swt kepada manusia untuk berpikir dan berenung, sehingga manusia
yang berpikir dapat menimbang akibat orang-orang beriman dan orang-orang
kafir, kemudian menemukan jalannya; seperti ayat, “Sesungguhnya
telah ada tanda (dan pelajaran) bagimu pada dua golongan yang telah
bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat
(seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali lipat jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati.” (Qs. Ali Imran [3]:13)[31]
- Menuntaskan hujjah:
Tatkala mengirimkan pelbagai mukjizat, ayat-ayat, dan tanda-tandanya
yang beragam, Tuhan telah menuntaskan hujjah bagi para hamba-Nya dan
memberikan kepada mereka janji-janji pahala dan azab, pada hakikatnya
mereka diseur untuk berpikir dan berenung sehingga manusia mau menimbang
segala yang dilakukan dan dikerjakannya. Para nabi juga tidak
mendatangi para umatnya kecuali menuntaskan hujjat dengan pelbagai
dalil, argument dan tanda-tanda, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata” (Qs. Hud [11]:96) tatkala mereka menolak untuk menjadi hamba, tidak akan diampuni, “Sesungguhnya
Musa telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti kebenaran
(mukjizat), kemudian kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan)
setelah ia pergi, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim
& Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah datang
kepadamu bukti-bukti kebenaran yang nyata, maka ketahuilah, bahwasanya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah [2]:92 & 209)[32] seluruh hujjah tidak terkhusus untuk para pendosa saja, melainkan mencakup seluruh nabi, “Dan
sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum
kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Qur’an itu (kepadamu) sebagai
peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali
tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah.” (Qs. Al-Ra’d [13]:37)[33]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35] [iQuest]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35] [iQuest]
[1]. “Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah
orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” (Qs. Al-Anfal [8]:22)
[2]. Nahj al-Balâgha, (Subhi Shaleh), hal. 43, Intisyarat Hijrat, Qum, 1414 H.
[3]. Akal dan Agama, 4910; Hubungan Akal dan Agama, 12105.
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil, 1, hal. 10, Diedit oleh Ghaffari dan Akhundi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[5]. Ibid, hal. 28.
[6]. Ibid, hal. 11.
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 26661 yang terdapat pada site ini.
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[9]. “Apakah kalian tidak berpikir” redaksi kalimat ini dan redaksi kalimat yang serupa digunakan sebanyak 20 kali dalam al-Quran.
[10]. Dan ayat-ayat serupa pada surah al-Mukminun “Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang
lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu
akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan
itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka sifatkan itu.” [23]:91)
[11]. “Ketika
malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata,
“Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata,
“Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat
bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu
terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian
tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-78)
[12].
Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Yunus [10]:5); (Qs. Al-Mulk [67]:3
& 4); (Qs. Al-Baqarah [2]:3 & 4); (Qs. Al-Mukminun [23]:69 &
80) dan seterusnya; Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran menyebut
orang-orang yang memikirkan tanda-tanda Ilahi sebagai “ulul albab” yaitu orang-orang yang berpikir.
[13]. “Kawannya
(yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya,
“Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang
laki-laki yang sempurna?” (Qs. Al-Kahf [18]:37); “Hai manusia,
jika kamu ragu tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sebagiannya berbentuk dan sebagian yang lain tidak
berbentuk, agar Kami jelaskan kepadamu (bahwa Kami Maha Kuasa atas
segala sesuatu), dan Kami tetapkan dalam rahim (ibu) janin yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, supaya (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, sehingga dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah ia ketahui. Dan (dari sisi lain) kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, bumi itu hidup dan tumbuh subur dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al-Hajj [22]:5)
[14]. “Dan
Dia-lah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa
awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan
hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu
pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan
orang-orang yang telah mati (pada hari kiamat), mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’rafa [7]:57); (Qs. Al-Rum [30]:50); (Qs. Fathir [35]:9) dan lain sebagainya.
[15]. (Qs. Al-Baqarah [2]:260)
[16]. (Qs. Al-Kahf [18]:9-25)
[17]. (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[18]. (Qs. Al-Taubah [9]:78); (Qs. Al-Baqarah [2]:96 & 107)
[19]. (Qs. Ali Imran [3]:98); (Qs. Al-Nisa [4]:33 & 166)
[20]. Surah Yusuf mengulas kisah ini secara rinci.
[21]. (Qs. Al-Tahrim [66]:4, 10 dan 11)
[22]. Seperti ayat-ayat, (Qs. Al-Fushilat [41]:13-17) dan (Qs. Al-A’raf [7]:80-84)
[23]. Mukjizat Rasulullah SAW lainnya pada (Qs. Al-Isra [17]:1 & 88); (Qs. Al-Qamar []:1)
[24].
Mukjizat-mukjizat Nabi Nuh As pada (Qs. Al-Ankabut [29]:15);
Mukjizat-mukjizat Nabi Ibrahim As pada (Qs. Al-Anbiya [21]:69);
Mukjizat-mukjizat Nabi Musa As pada (Qs. Thaha [20]:17-20) dan (Qs.
Al-Qashash [28]:32) dan (Qs. Al-Baqarah [2]:50); Mukjizat-mukjizat Nabi
Isa As pada (Qs. Al-Maidah [5]:110)
[25]. Dan ayat-ayat lainya seperti (Qs. Yunus [10]:38) dan (Qs. Hud [11]:13)
[26]. Dan seperti ayat-ayat (Qs. Al-Maidah [5]:53 & 54); (Qs. Al-Syua’ara [26]:74); (Qs. Al-Zukhruf [43]:23)
[27]. (Qs. Al-Isra [17]:36)
[28]. Ketika Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am [6]:49)
[29].
Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Al-Jumu’ah []:5); (Qs. Al-Baqarah
[2]:26, 171, 261, dan 265); (Qs. Ali Imran [3]:118) dan (Qs. Al-A’raf
[7]:176)
[30]. “Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (Qs. Al-Takatsur [102]:8)
[31].
(Qs. Al-Maidah [5]:50); (Qs. Al-An’am [6]:50); (Qs. Hud [11]:24);
demikian juga perbandingan orang-orang mujahid dan orang-orang yang
tidak berjihad pada surah al-Nisa:95)
[32]. (Qs. Al-Nisa [4]:153); (Qs. Al-Maidah [5]:32)
[33]. Demikian juga “(Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan
Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak
(berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan
mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
[34].
Jelas bahwa yang dimaksud dengan mendengarkan di sini bukanlah taklid
buta, melainkan mendengarkan berdasarkan pemikiran dan perenungan.
[35]. Menyinggung ayat
“Adapun orang-orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kanan,
maka dia berkata (lantaran bahagia dan bangga), “Ambillah, bacalah
kitabku (ini) & Adapun orang yang menerima kitab (amal)nya dengan
tangan kiri, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya kitabku
ini tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haqqa [69]: 19 & 25 ).